Oleh Arista Yuristania, S.Pt
Aktivis Muslimah
Kekerasan terhadap anak kembali
menghebohkan publik. Dalam waktu berdekatan, dua kasus tragis yang melibatkan
anak sebagai korban muncul di dua daerah di Indonesia.
AYS (28) dan istrinya YG (24)
menyiksa bayi berusia 2 tahun yang diasuhnya hingga tewas, di Kabupaten
Singingi (Kuansing), Riau, gara-gara korban rewel. Korban dititipkan oleh
ibunya IS (21), kepada kedua pelaku pada 23 Mei 2025. Selama dititipkan,
pasangan suami istri ini diduga sering melakukan penganiayaan terhadap korban.
Bahkan, saat penganiayaan, pelaku sering
kali merekamnya sambil tertawa. (www.regional.kompas.com/14/06/2025)
Kekerasan terhadap anak juga terjadi
di Jakarta Selatan. Seorang anak berusia 7 tahun, MK, ditemukan dalam kondisi
lemas dan tergeletak di sekitar Kios Ramayana, Pasar Kebayoran Lama Utara,
Jakarta Selatan. Korban kemudian dievakuasi oleh petugas Satpol PP dan dibawa
ke Puskesmas Cipulir 2. Diduga korban dianiaya oleh ayahnya di Surabaya, lalu
dibawa dan ditinggalkan di Jakarta.
Tubuh korban ditemukan penuh luka, dan korban mengaku sempat dibakar
serta dibacok oleh ayahnya. Selain itu, korban hanya diberi sesendok nasi
setiap hari. (www.mediaindonesia.com/13/06/2025)
Selain kekerasan fisik seperti kasus
tersebut, anak juga mengalami kekerasan seksual. Data Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan Dan Anak (Simfoni PPA) Kementrian PPA 2024 bahkan
menunjukkan kekerasan seksual adalah jenis kekerasan yang tertinggi. Mirisnya
kekerasan pada anak banyak terjadi dalam rumah dan dilakukan oleh orangtua.
Kasus kekerasan terhadap anak yang
terjadi di lingkungan terdekat hingga lingkungan keluarga, biasanya tidak
dilepaskan dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Mulai dari tekanan
ekonomi, emosi orangtua yang tidak terkendali,
kerusakan moral yang kian merajalela, lemahnya pemahaman atas fungsi
keluarga hingga lemahnya iman yang seharusnya menjadi penuntun dalam bersikap dan
bertindak. Semuanya berpangkat pada sistem kehidupan Sekularisme Kapitalisme
yang mencabut nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan dari kehidupan. Membuat
para orangtua kehilangan arah dalam mendidik dan mengasuh anak sesuai fitrah,
serta menjadikan tekanan ekonomi sebagai pembenaran untuk menitipkan anak dalam
waktu lama dan intens, menyiksa bahkan menelantarkan anak. Sementara di sisi
lain, Sekularisme menciptakan hubungan sosial yang dingin dan individualistis.
Sehingga masyarakat sekitar pun kehilangan kepekaan dan kepedulian terhadap
penderitaan yang terjadi di sekitar mereka.
Di Indonesia sebenarnya sudah banyak
regulasi tentang Perlindungan Anak, pencegahan kekerasan seksual, juga berbagai
kebijakan pembangunan keluarga dan gerakan-gerakan masyarakat. Namun nyatanya semua itu belum mampu
menyelesaikan persoalan. Sebab regulasi-regulasi tersebut dibangun di atas
pondasi paradigma sekuler dan kapitalistik yang memisahkan nilai-nilai agama
dari kehidupan. Serta lebih menekankan
pendekatan teknokratis dan administratif tanpa menyentuh akar persoalan yang
bersifat ideologis. Seperti rusaknya pola pikir masyarakat terhadap keluarga,
lemahnya kesadaran moral dan spiritual, serta hilangnya fungsi negara sebagai
pelindung hak-hak dasar anak dalam sistem kehidupan yang manusiawi dan penuh
tanggung jawab.
Oleh karena itu, menyelesaikan persoalan ini dibawah kehidupan
sistem Kapitalisme adalah perkara mustahil. Persoalan ini sejatinya akan tuntas
di bawah penerapan sistem Islam secara kaffah. Penerapan sistem ini dalam
seluruh aspek kehidupan baik individu,
keluarga, masyarakat, maupun
negara, akan menjadi jaminan tegaknya kesejahteraan yang hakiki, ketentraman
jiwa yang mendalam serta terjaganya iman dan takwa manusia kepada Allah Swt. hingga
terwujud kehidupan manusia yang terarah pada keadilan dan kasih sayang.
Negara dengan penerapan sistem Islam
sebagai institusi yang menerapkan sistem Islam secara kaffah akan melakukan
edukasi secara masif dan terstruktur kepada seluruh warganya melalui sistem
pendidikan berbasis akidah Islam. Sehingga terbentuk individu-individu yang
berkepribadian Islam, yakni berpola pikir dan bersikap sesuai syariat.
Pendidikan dalam sistem Islam, tidak
semata bertujuan mencetak manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga
membentuk akhlak mulia dan ketakwaan yang mendalam.
Dengan pondasi ini setiap warga
negara baik sebagai orangtua, anak,
anggota masyarakat, maupun pemimpin akan mampu menjalankan perannya secara benar,
bertanggung jawab dan penuh kasih sayang sesuai tuntunan Allah dan Rasulnya.
Maka masyarakat yang dibina oleh sistem Islam kaffah, kekerasan dalam keluarga
dapat dicegah sejak dini karena setiap individu dibekali kesadaran secara ruhiyyah,
dan pemahaman yang utuh tentang hak dan kewajiban dalam kehidupan sosial dan
rumah tangga.
Negara juga akan memainkan peran yang
strategis dalam menguatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum-hukum keluarga
Islam. Baik melalui kurikulum
pendidikan, media masa, hingga kebijakan-kebijakan publik yang berlandaskan
syariat. Dengan demikian setiap individu dalam keluarga baik suami, istri
maupun anak akan memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan kewajiban dan
menunaikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam.
Bukan semata karena tekanan sosial atau aturan legal formal, melainkan sebagai
bentuk ketaatan terhadap Allah Swt.
Inilah yang menjadi pondasi kokoh
bagi terbentuknya ketaatan keluarga yang sesungguhnya. Dimana keluarga dibangun
atas dasar iman, tanggung jawab dan kasih sayang. Ketahanan semacam ini tidak
akan pernah lahir dari sistem sekuler yang mengabaikan peran agama dalam
mengatur urusan kehidupan. Hanya dalam
naungan sistem Islam, yang menerapkan
sistem secara menyeluruh, ketahanan
keluarga yang hakiki dapat terwujud dan menjadi benteng utama yang mencegah
munculnya berbagai bentuk kekerasan
dalam rumah tangga.
Wallahualam bissawab.