Oleh Fera Ummu Thufail
Ibu dan Pemerhati Umat
Azwar, warga Bunut, Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, meninggal dunia di Kamboja setelah sebelumnya diduga menjadi korban penipuan agen kerja ilegal. Dia bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang awalnya dijanjikan pekerjaan sebagai penyanyi di Malaysia, tapi justru dikirim ke Kamboja dan dipaksa bekerja di perusahaan penipuan daring (scammer).
Perjalanan pria berusia 32 tahun itu bermula pada April 2025 saat ia menerima tawaran dari pria berinisial A asal Medan, ia dijanjikan gaji sebesar 800 dollar atau sekitar 13 juta perbulan untuk tampil sebagai penyanyi di Malaysia.
Namun bukannya diberangkatkan ke Malaysia, Azwar justru dikirim ke Kamboja. Setibanya di sana, dia diperkerjakan dalam tekanan dan target tinggi oleh perusahaan yang memperkerjakannya secara ilegal. Karena tekanan pekerjaan yang berat mengakibatkan dia syok hingga jatuh sakit, sehingga tidak bisa memenuhi target kerja, akibatnya dia dipindah-pindah tempat, bahkan diancam akan disiksa dan disetrum hingga akan dibuang ke laut, kata salah satu anggota keluarga yang dihubungi oleh MISTAR. ID
Dan akhirnya Azwarpun dikabarkan tewas setelah melompat dari lantai 3 ditempatnya menginap.
Sungguh sangat ironis, kasus kekerasan pekerja migran di Indonesia terus berulang-ulang dari tahun ke tahun tanpa adanya penyelesaian yang tuntas. Tingginya angka pengangguran dalam negeri inilah yang memaksa warga untuk mengadu nasib di luar negeri meskipun harus menghadapi berbagai konsekuensi dan risiko serius, seperti penipuan, kekerasan, pelecehan bahkan pembunuhan.
Jika melihat bagaimana regulasi terkait perlindungan tenaga kerja migran di Indonesia ini, masih jauh dari kata memadai serta belum mampu memberikan jaminan perlindungan yang menyeluruh bagi para pekerja migran.
Bahkan lebih miris lagi, Mentri Perlindungan Pekerja Migran (P2MI) Abdul Kadir Karding menganjurkan masyarakat untuk mempertimbangkan bekerja di luar negeri secara resmi. Hal ini disampaikan atas respon banyaknya kasus pengangguran di Indonesia yang telah mencapai angka 70 juta orang, ia juga mengatakan bahwa saat ini ketersediaan lapangan pekerjaan di luar negeri cukup banyak hingga mencapai 1,6 juta lowongan.
Menurutnya menjadi PMI terampil adalah salah satu jalan efektif untuk mengurangi angka pengangguran, khususnya di daerah yang masih sulit menciptakan lapangan pekerjaan, dan iapun meyakini, PMI yang memiliki ketrampilan tinggi akan membawa nama baik bangsa dan membuka jalan bagi generasi muda Indonesia untuk memiliki peran di panggung internasional.
Lagi-lagi akar masalah buruknya regulasi terkait perlindungan tenaga migran adalah sistem kapitalis sekuler yang diterapkan di negara kita. Di mana sistem tersebut akan melahirkan negara yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi dibandingkan tanggung jawab perlindungan terhadap rakyatnya, termasuk para pekerja migran yang sejatinya merupakan penyumbang devisa terbesar negara. Sepanjang 2024 Kementrian P2MI mengungkap jumlah remitansi PMI mencapai Rp243,3 trilyun.
Untuk perlindungan terhadap PMI, sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang th 2017, tentang perlindungan pekerja migran Indonesia. Undang-Undang ini dirancang sebagai pijakan hukum utama dalam memastikan bahwa PMI mendapatkan perlindungan yang kayak dari tahap perekrutan hingga kepulangan.
Namun, pada faktanya Undang-Undang yang dirancang tersebut tidak sesuai dengan implementasi dilapangan, bahkan yang sering terjadi justru para PMI dibiarkan dalam menghadapi berbagai risiko dan kekerasan tanpa diberikan perlindungan yang memadai.
Dari fakta-fakta yang menimpa PMI tersebut, mencerminkan runtuhnya fungsi negara sebagai pengayom dan pelindung bagi seluruh warganya. Pemerintah seharusnya mengambil tanggung jawab penuh untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan berkelanjutan di dalam negeri, tapi yang terjadi justru pemerintah menjadikan kerja keluar negri sebagai solusi instan atas persoalan pengangguran yang pada hakikatnya adalah bentuk lepas tangan negara dalam menjamin hak dasar rakyatnya.
Inilah gambaran sistem kapitalis sekuler yang hanya menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai tujuan utama. Alih-alih ingin mewujudkan kekayaan yang adil dan merata tapi sistem ini justru memperlebar jurang kesenjangan sosial, karena pemerintah dalam sistem kapitalis ini, kebijakan negara lebih berpihak kepada kepentingan segelintir elite pemilik modal.
Fakta tersebut sangat berbeda dengan pengaturan dalam Islam. Di dalam sistem Islam negara atau pemerintah bertindak sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi seluruh rakyatnya.
Dengan tanggung jawab besar memastikan terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak serta mengelola seluruh sumber daya alam (SDA) sesuai syariat untuk kemaslahatan umat secara menyeluruh.
Karena dalam sistem ekonomi Islam, negara menjamin setiap individu untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak serta akses kebutuhan pokok kehidupan.
Sesuai dengan sabda Rasul, "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Al Bukhari Muslim). Selain itu Allah juga menegaskan dalam Al Qur'an yang artinya "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu yakni kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia." (Sr Al qasas 77)
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa Islam memerintahkan untuk mengelola kehidupan dunia dengan baik sebagai jalan meraih kebahagiaan akhirat, termasuk dalam hal mencari nafkah.
Dalam Islam negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, adapun mekanismenya antara lain:
1. Mendorong seluruh laki-laki dewasa yang sehat untuk bekerja.
2. Negara wajib menciptakan lapangan pekerjaan agar rakyatnya bisa bekerja dan berusaha.
3. Kewajiban kerabat/mahram yang mampu untuk menafkahi keluarga yang tidak mampu.
4. Negara wajib menafkahi jika tidak ada kerabat atau keluarga ahli waris yang mampu memenuhi.
Negara Islam tidak akan menjadikan pengiriman PMI sebagai sumber devisa negara karena negara memiliki pos-pos pemasukan negara yang tetap seperti: 1. Zakat, 2. Sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas alam. 3. Fa'i, Kharaj, jizyah, ghanimah.
Dengan mengatur ekonomi sesuai syariat, maka hak-hak warga negara akan terpenuhi secara adil, dan semua itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan sistem Islam secara kaffah.