Oleh Via Gantina, S.Pd
Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah
Sekelompok massa menggelar unjuk rasa
di Istanbul, Turki, pada Senin (30/6/2025), sebagai bentuk protes terhadap
kartun yang dianggap menggambarkan Nabi Muhammad saw. Kartun tersebut dimuat
oleh majalah satir LeMan, dan memicu kemarahan publik. Beberapa kartunis
majalah itu telah ditangkap oleh pihak berwenang karena karya mereka dinilai
melecehkan ajaran agama, termasuk juga dianggap menampilkan Nabi Musa as. Pemerintah
Turki dan kelompok konservatif mengecam keras ilustrasi tersebut. Presiden
Recep Tayyip Erdogan menyebutnya sebagai “provokasi yang menjijikkan” dan
menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan adanya penghinaan terhadap
nilai-nilai sakral umat Islam. (dikutip dari media online cnnindonesia.com,
Selasa, 01/07)
Motif di balik kasus kartun Nabi
Muhammad saw. kali ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dari insiden-insiden
serupa sebelumnya. Kasus seperti ini merupakan pola yang terus berulang, yang
umumnya berakar dari sikap islamofobia. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw.
telah beberapa kali terjadi di sejumlah negara Eropa.
Di Prancis, misalnya, majalah ateis Charlie
Hebdo secara sengaja dan berulang kali menerbitkan karikatur yang
melecehkan sosok Nabi Muhammad saw. Bahkan, majalah tersebut pernah
menyelenggarakan kompetisi pembuatan kartun yang mengejek Tuhan.
Pada tahun 2005, surat kabar Jyllands-Posten
di Denmark memicu kontroversi setelah mempublikasikan kartun Nabi Muhammad saw.
Dua tahun kemudian, pada 2007, kartunis Swedia Lars Vilks juga menuai kemarahan
dari umat Islam karena menggambarkan Nabi Muhammad saw. dalam kartunnya. Di
Belanda, tokoh politik dari partai sayap kanan “Partai Kebebasan”, Geert
Wilders, pernah berencana mengadakan lomba kartun serupa. Namun, karena kuatnya
tekanan dari dunia Islam, rencana tersebut akhirnya dibatalkan.
Dalam kasus terbaru di Turki, ketika
reaksi umat Islam mulai memanas, pemimpin redaksi majalah terkait mencoba
meredakan situasi dengan menyatakan bahwa kartun itu telah disalahartikan.
Namun, meskipun pelakunya telah ditangkap, hal itu tidak serta-merta meredakan
kemarahan publik. Ini menegaskan bahwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw.
merupakan isu yang sangat sensitif bagi umat Islam dan dianggap sebagai bentuk
pelecehan yang serius, apa pun alasan yang dikemukakan. Maka, tak mengherankan
jika umat Islam menunjukkan penolakan keras terhadap hal semacam ini.
Kasus penghinaan terhadap Nabi
Muhammad saw. bukanlah peristiwa sesaat, melainkan bagian dari pola sistemik
yang terus berlangsung dalam naungan sistem sekuler. Peristiwa semacam ini
muncul sebagai konsekuensi dari penerapan paham kebebasan berekspresi yang
dijunjung tinggi dan bahkan dilindungi dalam kerangka demokrasi. Dalam sistem
demokrasi sekuler, kebebasan individu untuk berkata dan bertindak seringkali
dilepaskan dari batasan nilai-nilai agama, khususnya ajaran Islam.
Kebebasan berekspresi dianggap
sebagai hak asasi yang tak boleh diganggu gugat dalam sistem demokrasi
kapitalistik. Kapitalisme, yang menjadi fondasi dari sekularisme dan demokrasi
modern, mengagungkan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Atas nama kebebasan
inilah, penghinaan terhadap simbol-simbol suci umat Islam, seperti pembuatan
kartun Nabi Muhammad saw., dilegalkan, meskipun jelas-jelas menyakiti perasaan
lebih dari satu miliar umat Muslim di dunia.
Paham kebebasan berekspresi ini telah
menyebar ke berbagai belahan dunia, seiring dengan ekspansi sistem sekuler
demokrasi kapitalisme. Sayangnya, negara-negara Muslim pun ikut terpengaruh.
Banyak dari negeri-negeri Islam justru mengikuti arus pemikiran Barat karena
adanya transfer ideologi sekularisme yang dibawa oleh negara-negara adidaya.
Para pemimpin di negeri-negeri Muslim, dalam banyak kasus, merupakan hasil
penanaman pengaruh dari kekuatan besar global, sehingga tidak benar-benar
independen dalam menjalankan kebijakan. Mereka lebih berperan sebagai pelaksana
kepentingan tuannya ketimbang penjaga akidah dan syariat umat Islam.
Akibatnya, negeri-negeri Muslim
dijalankan bukan dengan hukum Islam, melainkan dengan aturan sekuler yang
bertentangan dengan akidah mayoritas penduduknya. Umat Islam hidup dalam sistem
yang tidak sesuai dengan keyakinannya—bagaikan ikan laut yang dipaksa bertahan
di air tawar. Mereka berakidah Islam, tetapi seluruh aspek kehidupannya diatur
oleh sistem yang asing dari Islam, sehingga cara pandangnya pun ikut terseret
dalam arus sekulerisasi.
Inilah yang membuat upaya penghentian
penghinaan terhadap Rasulullah saw. menjadi sangat sulit. Sistem hukum dan
sanksi yang ada tidak memiliki kekuatan untuk memberi efek jera. Selama sistem
sekuler demokrasi kapitalisme masih menjadi landasan bernegara, penghinaan
serupa sangat mungkin akan terus terjadi—baik di negara-negara Barat maupun di
negeri-negeri Muslim itu sendiri. Protes umat Islam pun tak akan cukup
menghentikannya jika sistem yang menopang penghinaan itu tetap dipertahankan.
Peradaban Islam dibangun di atas asas
akidah yang lurus, yaitu akidah Islam. Peradaban Islam tidak dibangun untuk
mendapatkan manfaat materi semata, apalagi hanya memuaskan nafsu kebebasan.
Peradaban Islam terefleksi secara praktis dalam format Daulah Khilafah
Islamiah.
Sungguh, Rasulullah Muhammad saw.
tidak mewariskan harta benda kepada umatnya, tetapi beliau mewariskan sesuatu
yang jauh lebih berharga dari harta benda duniawi. Rasulullah saw. mewariskan
Islam, negara Islam, beserta seluruh risalah Islam yang dengannya beliau diutus
oleh Allah Taala di muka bumi. Allah Taala berfirman dalam ayat,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’ [21]:
107).
Perihal mencintai Rasulullah saw.,
Allah Taala berfirman dalam ayat,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (٣١) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (٣٢)
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (31). Katakanlah,
‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.'(32)” (QS Ali Imran [3]: 31—32).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam
kitab Daulah Islam, pada Bab “Penyelesaian Guncangan di Dalam Negeri”,
menyinggung bentuk kecintaan sejati terhadap Rasulullah saw. melalui kisah
peristiwa Raji’. Dalam peristiwa itu, Rasulullah saw. mengutus enam sahabat
untuk mendampingi sekelompok kecil dari kabilah yang bertetangga dengan Bani
Hudzail. Kabilah tersebut sebelumnya meminta agar dikirim utusan untuk
membacakan Al-Qur’an dan mengajarkan syariat Islam. Namun, permintaan tersebut
ternyata hanya tipu daya. Mereka mengkhianati para sahabat Rasul, yang berujung
pada gugurnya tiga orang dan penawanan tiga lainnya.
Salah satu dari mereka yang ditawan
adalah Zaid bin Datsinah. Ia dijual oleh Bani Hudzail kepada orang-orang
Quraisy di Makkah dan dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuh, sebagai
pembalasan atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf, dalam Perang Badar.
Sebelum eksekusi, Abu Sufyan bertanya kepada Zaid, “Wahai Zaid, tidakkah engkau
ingin Muhammad menggantikan posisimu, lalu engkau kembali ke keluargamu dengan
selamat?” Zaid dengan tegas menjawab, “Demi Allah, aku tidak rela jika Muhammad
terkena duri sekalipun, sementara aku berada di tengah keluarga.” Mendengar
jawaban itu, Abu Sufyan tercengang dan berkata, “Aku belum pernah melihat
seseorang mencintai pemimpinnya seperti kecintaan para sahabat Muhammad
terhadap dirinya.” Setelah itu, Zaid pun dieksekusi.
Kisah ini memperlihatkan betapa dalam
cinta para sahabat kepada Rasulullah saw. Mereka adalah orang-orang yang rela
mengorbankan jiwa demi melindungi kehormatan beliau. Mereka takkan pernah
membiarkan Rasul mereka disakiti, apalagi dihina oleh musuh-musuh Islam.
Kisah ini menunjukkan bahwa menghina
Nabi Muhammad saw. adalah tindakan yang sangat berat dalam pandangan Islam.
Dalam kitab Nizham al-‘Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat fi al-Islam karya
Syekh Abdurrahman al-Maliki dan Syekh Ahmad ad-Daur, dijelaskan bahwa dalam Bab
"Pelanggaran terhadap Harga Diri", terdapat tiga bentuk pelanggaran: adz-dzam
(sindiran halus), al-qadh (penyerangan terhadap reputasi), dan at-tahqir
(penghinaan atau pelecehan terang-terangan).
Dalam konteks kasus kartun yang
menggambarkan Nabi Muhammad saw., tindakan ini tergolong at-tahqir
karena bentuknya berupa visual yang bersifat menghina dan disebarkan secara
publik. Maka pelaku penghinaan dikenai sanksi berupa cambuk dan kurungan selama
satu hingga dua tahun, sesuai dengan hukum Islam.
Penegasan Islam terhadap penghinaan
terhadap Nabi saw. mencerminkan adanya sistem yang menjaga kehormatan agama dan
umat. Islam tidak memberi toleransi terhadap bentuk penghinaan terhadap
Rasulullah saw., baik dalam bentuk ucapan, tulisan, maupun gambar. Namun, hanya
dalam naungan negara Islam—Khilafah—penjagaan seperti ini dapat diterapkan
secara menyeluruh dan adil.
Wallahualam bissawab