![]() |
Oleh : Gilang Alfarizi | Kabid PTKM HMI Komisariat Hukum Unand |
Liberalisasi politik yang terjadi pasca Orde Baru membuat ruang penyampaian pendapat atas ragam hal menjadi semakin terbuka, Liberalisasi politik tersebut beririsan dengan perkembangan dunia digital yang semakin masif sehingga menimbulkan banyak pilihan bagi masyarakat, aktivis, dan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sehingga pergerakan mahasiswa dalam menyikapi sebuah kebijakan tidak hanya dilakukan dengan aksi turun ke jalan seperti yang sering dilakukan selama ini melainkan juga bisa dilakukan lewat media sosial dengan memaksimalkan narasi yang ingin disuarakan.
Ragamnya pilihan tersebut nyatanya tidak membuat gelombang pergerakan mahasiswa atau aktivis menjadi meningkat justru cenderung stagnan dalam artian tidak banyak perkembangan dalam intesitasnya. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal ini mulai dari kurangnya koordinasi sehingga gerakan cenderung sporadis, padatnya jadwal kuliah, penghakiman “FOMO” pada setiap orang yang mencoba untuk ikut mengawal pergerakan,dll. Banyak faktor yang melatarbelakangi, Namun faktor stigma “FOMO” berperan sangat krusial terhadap intensitas pergerakan mahasiswa saat ini karna stigma yang terkesan sadis ini membuat beberapa orang menjadi ragu untuk ikut mengawal sebuah pergerakan yang dilakukan.
Fear of Missing Out (FOMO) atau bahasa awamnya adalah “takut ketinggalan” pada awalnya merupakan istilah yang ditujukan kepada seseorang yang kebelet viral, karna tidak dipungkiri di dunia yang diliputi oleh bayang-bayang algoritma ini pasti ada beberapa individu yang memang ingin menjadi bagian dari sesuatu yang viral dari hal inilah istilah tersebut mencuat. Namun saat ini istilah tersebut dijadikan senjata penghakiman bagi beberapa “oknum” untuk meredam sebuah pergerakan yang diinisiasi untuk mengawal sebuah kebijakan, fenomena pemberian stigma ini menargetkan mental Individu yang baru menumbuhkan tunas kepedulian mereka atas sebuah gerakan agar mereka mengurungkan kembali niatnya untuk ikut mengawal pergerakan tersebut.
Justifikasi ini menjadi tembok penghalang bagi pergerakan yang dilakukan oleh Mahasiswa atau Aktivis karna bisa meruntuhkan semangat barisan yang telah dibangun. Padahal sekecil apapun sebuah partisipasi pasti memiliki sebuah arti penting sehingga segala bentuk tindakan yang menggeneralisasi “FOMO” harus segera diracik solusinya agar makna dan kekuatan sebuah partisipasi tidak terdistorsi sehingga gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa atau aktivis bisa menjadi murni dan kuat sampai ke lapisan akarnya.
Sudut pandang dalam menilai fenomena ini bisa menjadi indikator sukses atau tidaknya sebuah gerakan, jika kita menilik dari sudut pandang yang lebih jernih maka “FOMO” atau yang akrab diartikan sebagai “takut ketinggalan” merupakan bentuk atau pondasi awal dari sebuah kepedulian yang harusnya dirangkul serta diarahkan lebih lanjut karna mereka pasti ingin tahu lebih dalam mengapa suatu isu mencuat?, kenapa semua orang membicarakan isu ini?, dan apa pentingnya isu ini? apakah saya harus ikut mengawal isu ini? beragam pertanyaan ini pada awalnya pasti dilandasi dengan rasa ingin tahu serta rasa tidak ingin ketinggalan sehingga mereka pasti menggali informasi lebih dalam terkait hal ini, sehingga pada titik inilah sebuah nilai atau pemikiran kritis muncul, yang pada titik ini upaya kolektif sangat diperlukan untuk memberikan rangkulan serta arahan bagi mereka yang rawan terkena generalisasi “FOMO” tersebut.
Stigma “FOMO” hanyalah sebuah hambatan artifisial yang harus diselesaikan secara kolektif, karna “FOMO” adalah bentuk awal dari sebuah kepedulian serta gerbang awal menuju kesadaran kolektif yang lebih kuat maka dari itu penekanan terhadap upaya rangkulan kolektif sangat diperlukan agar hal ini dapat direalisasikan. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi atau merubah stigma negatif ini menjadi hal yang positif. Pertama, bentuklah sebuah ekosistem yang suportif serta inklusif dengan cara memberikan rangkulan kepada mereka yang baru mulai menumbuhkan tunas kepedulian mereka selain rangkulan berikan mereka perlindungan dari segala stigma negatif yang bersifat artifisial atau buatan seperti “FOMO” atau stigma lain yang mencuat sehingga mereka merasa aman dan dikelilingi oleh lingkungan yang memberikan support kepada mereka.
Cara yang kedua bisa dengan mengadakan sosialisasi, diskusi, atau hal lain yang sifatnya edukatif sehingga mereka jadi mengetahui lebih dalam terkait gerakan yang diinisiasi serta isu apa yang menjadi sorotan utamanya, dengan pemahaman yang komprehensif partisipasi yang awalnya hanya bersifat seremonial bisa berubah menjadi keyakinan yang mengakar kuat, lakukanlah riset yang mendalam fokuslah kepada substansi alih alih sensasi sehingga “oknum” yang haus panggung akan tersaring dengan sendirinya. Pada akhirnya persamaan persepsi menjadi kunci utama agar sebuah gerakan tersebut berdampak dan berdaya guna, jangan biarkan stigma “FOMO” menjadi penghalang karna sekecil apapun partisipasi yang diberikan itu adalah bentuk kepedulian akan hal-hal yang tengah terjadi.