![]() |
Oleh Yanti Novianti Pegiat Dakwah |
Presiden Prabowo Subianto menyoroti persoalan krusial mengenai state capture, yakni pola kolusi antara pemilik modal besar dengan aparat kekuasaan dan elit politik. Alih-alih mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dan penguatan kelas menengah, praktik ini justru menjadi hambatan nyata dalam proses pembangunan nasional. Prabowo menilai bahwa masalah ini sangat serius dan tidak bisa ditunda penanganannya, sebab dampaknya menyentuh langsung kepentingan rakyat luas. (kumparan.com, 20/6/ 2025)
State capture merupakan bentuk korupsi politik yang terstruktur, di mana aktor-aktor swasta memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan negara demi meraih keuntungan pribadi.
Ketika Politik Jadi Komoditas: Wajah Buram Demokrasi Sekuler
Dalam sistem demokrasi sekuler yang berpijak pada kapitalisme, politik tak lagi menjadi ruang pengabdian kepada rakyat, melainkan berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan kepada pemilik modal. Para calon penguasa tak cukup hanya bermodalkan visi dan integritas, tetapi harus menyiapkan dana besar untuk bertarung dalam panggung kekuasaan. Akibatnya, lahirlah praktik politik transaksional di mana pengusaha menyuntikkan dana kampanye, dan sebagai gantinya menuntut kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka.
Di sisi lain, kekuasaan pun bukan lagi amanah, melainkan investasi. Inilah wajah buram demokrasi sekuler. Suara rakyat dibungkam oleh uang dan kebijakan negara dibajak oleh segelintir elite yang mengendalikan sistem dari balik layar. Akhirnya, proses demokrasi sekuler tak ubahnya pasar terbuka dimana harga ditentukan bukan oleh kepentingan publik, tetapi oleh kedekatan finansial antara pengusaha dan penguasa terpilih.
Selain itu, ketamakan para elit dan haus kuasa para penguasa telah melahirkan ironi pahit di tengah kehidupan rakyat. Di balik gemerlap janji-janji pembangunan, justru rakyat kecil harus berjibaku hanya untuk mendapat pekerjaan yang layak demi menyambung hidup. Pintu-pintu rezeki seakan disegel rapat bagi mereka yang tak punya koneksi atau kuasa. Dalam himpitan hidup yang kian menyesakkan, sebagian orang terpaksa menempuh jalan yang salah demi bertahan. Kriminalitas pun kian merebak, menjadi cermin betapa timpangnya keadilan sosial di negeri ini.
Sejenius apapun akal manusia merumuskan aturan, tetap saja akan ada celah yang terbuka, kepentingan yang menyusup dan keadilan yang tak utuh. Aturan buatan manusia, meski tampak rapi dan terstruktur, sejatinya dibatasi oleh kelemahan naluri dan keterbatasan perspektif. Sementara itu, hukum Allah hadir dengan kesempurnaan yang tak terbantahkan melampaui ruang dan waktu, menembus segala zaman. Ia tak bisa digugat oleh logika dunia, karena berasal dari sumber keadilan yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maka, mustahil hukum buatan makhluk mampu menandingi keagungan syariat Sang Pencipta.
Jabatan Adalah Amanah Bukan Alat Kekuasaan
Aqidah Islam merupakan yang benar tentang Tuhan, kitab, rasul, malaikat, takdir dan hari akhir yang berfungsi sebagai pilar utama yang menopang seluruh aspek kehidupan manusia. Ketika nilai-nilai ini tertanam kuat dalam sanubari individu, terbentuklah karakter jujur yang tidak tergoda oleh janji kekuasaan atau kekayaan duniawi.
Maka itu, pejabat publik yang memegang teguh prinsip ini akan melihat jabatan bukan sebagai alat kekuasaan atau peluang pribadi, melainkan sebagai amanah suci untuk melayani masyarakat. Sikap tersebut kemudian meminimalkan godaan korupsi, karena korupsi bertentangan langsung dengan kesadaran bahwa hakikat jabatan adalah amanah yang harus dijaga demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Semua itu nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah swt. dalam TQS. Al-Baqarah ayat 188, yaitu "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
Dalam sistem Islam yang diterapkan secara kaffah (menyeluruh), korupsi tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran administratif, melainkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang Allah titipkan. Islam tidak membiarkan celah sekecil apapun bagi tindak korupsi untuk tumbuh, karena sejak awal sistem ini telah membangun benteng ketakwaan di hati individu, serta menegakkan sanksi yang tegas dan adil bagi siapa pun yang menyimpang.
Sepanjang lintasan sejarah telah terbukti bahwa di masa kepemimpinan Islam menunjukkan betapa besar perhatian para khalifah terhadap kesejahteraan umat. Mereka tidak sekadar memegang tampuk kekuasaan, melainkan memikul amanah yang berat untuk menjamin keadilan, mencukupi kebutuhan rakyat dan menjaga harkat kehidupan manusia. Kepemimpinan dijalankan bukan demi kepentingan pribadi atau golongan, melainkan sebagai bentuk pengabdian yang tulus kepada Allah dan tanggung jawab terhadap umat. Alhasil, kesejahteraan bukanlah janji politik, melainkan konsekuensi dari penerapan syariat secara menyeluruh.
Dengan demikian, masyarakat pun dapat menjalani hidup dengan tentram, tanpa dibebani aturan-aturan yang rumit dan menyesakkan dari pemimpin yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kebaikan rakyat. Sebab, hukum yang diterapkan bukanlah hasil rekayasa manusia yang penuh kepentingan, melainkan bersumber dari syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya yaitu aturan yang membawa rahmat, bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bisshawwab.