![]() |
Oleh: Ummu Abiyyu (Pegiat Literasi) |
Kisruh sengketa wilayah kembali mencuat. Kali ini, giliran Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) yang berselisih soal kepemilikan empat pulau: Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025 telah menetapkan keempat pulau tersebut menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Namun keputusan ini tidak serta-merta menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, muncul spekulasi bahwa penetapan tersebut berkaitan erat dengan potensi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi (migas) di sekitar wilayah tersebut.
Meski Kementerian Dalam Negeri menepis adanya keterkaitan dengan potensi migas dan menegaskan bahwa penetapan hanya berdasarkan aspek spasial dan administratif, sejumlah pihak tetap menaruh curiga. Anggota DPR asal Aceh, Muslim Ayub, dengan tegas menyatakan bahwa persoalan ini tak bisa dilepaskan dari kepentingan atas cadangan migas di wilayah tersebut. Ia bahkan menyebut kemungkinan itu dengan keyakinan "1.000 persen". Pernyataan ini memperkuat anggapan bahwa pengelolaan wilayah dalam sistem hari ini tidak steril dari kepentingan ekonomi.
Buah Sistem Kapitalis: Sengketa Wilayah dan Ketimpangan
Fakta ini mencerminkan kegagalan sistem otonomi daerah yang lahir dari rahim demokrasi sekuler kapitalistik. Sistem ini menjadikan daerah-daerah saling berlomba menguasai kekayaan sumber daya alam demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa memperhatikan kemaslahatan umat secara menyeluruh. Akibatnya, kecemburuan antardaerah tumbuh subur. Daerah kaya merasa lebih unggul, sedangkan daerah yang kurang potensial mengalami ketertinggalan. Ketimpangan pun makin nyata dan rawan memicu konflik wilayah, sebagaimana kasus ini.
Otonomi daerah dalam sistem kapitalis memang hanya menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi. Kepentingan utama bukanlah kemakmuran bersama, melainkan siapa yang paling banyak "mendapat bagian". Tidak mengherankan jika sengketa semacam ini terus berulang, karena akar persoalannya tidak pernah disentuh secara mendasar.
Solusi Islam: Sentralisasi Kemaslahatan dalam Khilafah
Islam menawarkan sistem pemerintahan yang sangat berbeda dari sistem kapitalisme yang kita saksikan saat ini. Dalam sistem Khilafah Islamiyyah, pengelolaan wilayah tidak didasarkan pada asas manfaat atau keuntungan ekonomi daerah semata, melainkan pada asas akidah Islam yang mengikat seluruh wilayah dalam satu kesatuan ideologis dan administratif.
Dalam Khilafah, sistem pemerintahan bersifat sentralistik namun tetap memperhatikan keberagaman dan kebutuhan lokal. Tidak ada provinsi "kaya" atau "miskin" dalam konteks saling berebut sumber daya, karena seluruh kekayaan alam merupakan milik umat yang dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Negara memastikan distribusi kekayaan secara adil dan menyeluruh.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. saat Madinah dilanda musim paceklik. Beliau meminta bantuan dari wilayah lain tanpa memandang batas administratif atau status daerah. Ini menunjukkan bagaimana persatuan umat dan kepentingan bersama menjadi dasar kebijakan dalam sistem Islam, bukan kepentingan ekonomi sempit.
Khilafah adalah institusi yang raa’in (mengurus) dan junnah (perisai) bagi umat. Seorang khalifah bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya, menjaga keutuhan wilayah, dan menghindarkan umat dari konflik perebutan wilayah yang hanya akan membuka celah perpecahan. Seluruh kebijakan dijalankan berdasarkan hukum syariah, bukan kepentingan kelompok atau elit politik.
Penutup
Selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar dalam mengatur urusan umat, sengketa wilayah semacam ini akan terus terjadi. Kepentingan ekonomi akan selalu menjadi pemicu konflik, bukan persatuan umat. Hanya dengan kembali kepada sistem Islam yang kaffah, umat ini akan menemukan jalan penyelesaian yang adil, harmonis, dan penuh keberkahan.
Wallahu a’lam bish-shawab.