![]() |
Oleh: Sarlin, Amd. Kep (Pegiat Literasi) |
Konvoi Global March to Gaza yang berlangsung dari Al-Arish menuju Gerbang Rafah kembali membuka mata dunia akan penderitaan rakyat Palestina. Aksi kemanusiaan ini melibatkan ribuan orang dari berbagai negara yang menolak diam terhadap genosida yang dilakukan entitas penjajah Israel. Namun, seberapa besar gerakan ini dapat benar-benar mengubah keadaan, jika dunia masih terkungkung dalam belenggu nasionalisme dan batas-batas negara bangsa?
Nasionalisme telah dijadikan ideologi suci oleh banyak negara Muslim pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyah. Umat yang dahulu bersatu dalam satu ikatan akidah, kini tercerai-berai dalam sekat buatan bernama negara-bangsa. Palestina bukan lagi dilihat sebagai bagian dari tubuh kaum Muslim, melainkan sekadar "urusan negara lain".
Kondisi ini jelas mengkhianati ajaran Islam. Dalam Islam, seluruh kaum Muslim adalah satu umat—satu tubuh. Ketika satu bagian terluka, seluruh tubuh merasakannya. Rasulullah ï·º bersabda: "Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi, adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. Muslim)
Namun apa yang terjadi hari ini? Mesir menutup pintu Rafah, Yordania berdiam, Turki bermain diplomasi, dan negara-negara Arab sibuk menjaga relasi diplomatik dan ekonomi dengan penjajah. Bahkan, Indonesia yang mayoritas Muslim, memilih jalur netral yang steril dari seruan jihad atau pembebasan total Palestina.
Inilah buah dari sistem sekuler kapitalis—di mana kepentingan politik, ekonomi, dan citra internasional lebih utama dibandingkan membela darah dan kehormatan kaum Muslimin. Sistem ini tidak hanya menumpulkan empati umat, tapi juga membelenggu kekuatan militer kaum Muslim dalam kerangkeng kedaulatan nasional masing-masing.
Islam memerintahkan kaum Muslim untuk membela saudaranya yang dizalimi. Dalam Islam, pembebasan wilayah yang dijajah adalah kewajiban kolektif. Jika satu wilayah kaum Muslim diserang, maka seluruh negeri Muslim wajib membantu secara militer. Ini hanya mungkin terwujud jika umat Islam memiliki satu pemimpin (khalifah) dalam satu negara besar (khilafah) yang menyatukan kekuatan umat.
Solusi atas penjajahan Palestina bukanlah dalam diplomasi atau bantuan kemanusiaan semata. Solusi tuntas adalah dengan mengembalikan kembali institusi politik Islam, Khilafah, yang mampu mengerahkan seluruh potensi umat dalam satu komando untuk membebaskan bumi para nabi ini.
Kini saatnya umat menyadari bahwa nasionalisme adalah racun yang melemahkan solidaritas umat. Sudah cukup kita terpecah. Sudah saatnya umat kembali bersatu dalam satu identitas: umat Islam. Dan sudah saatnya kita menegakkan sistem Islam kaffah sebagai satu-satunya jalan membebaskan Palestina, dan seluruh negeri Muslim dari penjajahan. Wallahu'alam