Oleh Rokayah
Aktivis Muslimah
Ketimpangan pendidikan di Indonesia bukan sekadar masalah, ini adalah bom waktu yang siap meledak. Presiden Prabowo Subianto, menyadari ancaman ini, meluncurkan program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda sebagai upaya besar untuk merevitalisasi sektor pendidikan. Namun, apakah program ambisius ini cukup untuk menjinakkan bom waktu tersebut? Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, dalam wawancara di program One on One Sindonews (23/5/2025), memaparkan tujuan dan mekanisme program, menekankan pemerataan akses dan peningkatan kualitas pendidikan.
Program ini diakui sebagai respons atas kegagalan intervensi sebelumnya. Dana BOS dan KIP, meskipun membantu, hanya bersifat tambal sulam, gagal mengatasi akar masalah ketimpangan struktural. Ketimpangan ekonomi terus menghantui akses pendidikan, biaya sekolah, seragam, buku, dan transportasi menjadi beban berat bagi keluarga miskin, mengakibatkan putus sekolah massal sebelum pendidikan dasar selesai.
Sekolah Rakyat hadir sebagai solusi yang digembar-gemborkan. Menargetkan anak-anak dari keluarga kurang mampu, program ini menjanjikan pendidikan gratis dan berkualitas, dengan kurikulum yang menekankan literasi, numerasi, dan keterampilan hidup. Fasilitas pendukung, seperti buku, seragam, dan makanan bergizi, turut disediakan. Namun, janji ini masih jauh dari kepastian.
Sekolah Unggulan Garuda, di sisi lain, dirancang sebagai pusat unggulan dengan kurikulum inovatif, teknologi terkini, dan pengajar berkualitas, bertujuan mencetak generasi unggul yang mampu bersaing global. Akses terbuka bagi siswa berprestasi dari semua latar belakang ekonomi, dengan seleksi yang diklaim transparan. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung, akankah ini menciptakan kesenjangan baru, membuat jurang pemisah antara yang mampu dan yang tidak mampu makin lebar?
Kritik pedas pun bermunculan. Banyak yang menilai program ini sebagai pencitraan semata, hanya "pembalut" atas masalah struktural yang lebih dalam. Program ini dianggap tidak cukup untuk mengatasi akar masalah ketimpangan, hanya tambal sulam yang menutupi luka yang lebih parah. Evaluasi berkala dan transparansi mutlak diperlukan untuk memastikan efektivitas program ini.
Pandangan Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Pendidikan dalam Islam, adalah hak fundamental, selayaknya kesehatan dan keamanan. Baitul Maal, sebagai lembaga keuangan publik, seharusnya menjadi sumber pendanaan yang adil dan merata. Tidak boleh ada diskriminasi akses pendidikan berdasarkan ekonomi.
Pendidikan dalam sistem ekonomi Islam bukan hanya solusi ekonomi, tetapi fondasi peradaban. Ia mencetak generasi beriman, berilmu, dan berakhlak mulia, membangun peradaban yang adil dan makmur. Fokusnya bukan hanya ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga pembentukan karakter.
Pendidikan Islam bertujuan mencetak generasi Muslim unggul, menguasai ilmu terapan, dan siap menyebarkan peradaban Islam. Ia diharapkan menjadi rujukan dunia, mencetak generasi berakhlak mulia dan berilmu. Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, adalah cahaya penerang menuju kesuksesan dunia dan akhirat.
Program Sekolah Rakyat dan Garuda Unggulan, meski berniat baik perlu dikaji ulang. Apakah program ini mampu mengatasi akar masalah ketimpangan dan menciptakan sistem pendidikan yang adil dan merata? Apakah program ini hanya akan memperparah kesenjangan yang sudah ada? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan tindakan nyata, bukan hanya janji. Keberhasilan program ini bergantung pada komitmen dan kerja keras semua pihak, dari pemerintah, pendidik, orang tua, hingga siswa sendiri. Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada keberhasilan menjinakkan bom waktu ini.
Wallahualam bissawab