![]() |
Oleh: Nahmawati, S.IP (Pegiat Literasi) |
Setiap tahun, ibadah haji menjadi momen sakral yang dinanti jutaan Muslim, termasuk dari Indonesia. Namun, alih-alih menghadirkan ketenangan spiritual, penyelenggaraan haji 2025 kembali diwarnai kekacauan. Keterlambatan jadwal, jemaah terlantar, hingga layanan minim menjadi potret buram lemahnya tata kelola. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi pertanyaan besar tentang tanggung jawab negara dalam melindungi warganya yang tengah menunaikan rukun Islam kelima.
Penyelenggaraan haji tahun ini kembali diwarnai kekacauan yang mencoreng wajah pelayanan publik. Masalah klasik seperti penataan transportasi, distribusi logistik, dan pengelolaan jemaah muncul dengan skala yang bahkan lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Puncaknya terjadi di fase krusial Armuzna (Arafah,Muzdalifah, Mina) saat jemaah berpindah dari Arafah ke Muzdalifah lalu Mina di mana ribuan jemaah Indonesia terlantar, kehausan, dan kepanasan, sebagian bahkan kehilangan kelompoknya. Ini bukan sekadar soal teknis, tapi soal tanggung jawab negara dalam mengurus ibadah rakyatnya.
Tim Pengawas Haji DPR RI mencatat berbagai persoalan krusial dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025. Salah satu temuan mencolok adalah kondisi tenda jemaah yang over kapasitas hingga memaksa sebagian jemaah tidur di Musollah karena keterbatasan tempat. Ketua Timwas Haji DPR sekaligus Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyoroti sejumlah masalah mendasar yang belum tertangani dengan baik. Di antaranya adalah persoalan layanan pemondokan yang belum optimal, keterlambatan distribusi kartu nusuk, kesiapan wilayah Arafah-Muzdalifah-Mina (Armuzna), serta standar pelayanan konsumsi, transportasi, dan kesehatan yang belum memenuhi harapan. (Tempo.co, 03/06/2025).
Sementara itu Anggota Tim Pengawas Haji DPR RI, Adies Kadir, menilai Kementerian Agama belum menunjukkan kesiapan optimal dalam pelaksanaan ibadah haji 2025. Ia menyoroti lemahnya antisipasi dan minimnya evaluasi atas berbagai persoalan yang terjadi di lapangan. Pernyataan ini disampaikan Adies setelah melakukan peninjauan langsung terhadap situasi penyelenggaraan haji dan kondisi jemaah di beberapa lokasi pelayanan. “Mereka tidak mengambil pelajaran dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya,” ujar Adies di Mina, Makkah, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis pada Ahad, 8 Juni 2025. (Tempo.co, 08/06/2025)
Dalam situasi ini, Negara seharusnya hadir sebagai pelindung dan pelayan umat. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa negara tampak absen dalam mengawal pelaksanaan teknis haji secara menyeluruh. Koordinasi antar instansi lemah, sistem tanggap darurat tidak berjalan, dan komunikasi kepada jemaah minim. Ketika pelayanan hanya dijalankan secara birokratis dan seremoni, maka jemaah hannyalah angka dalam laporan, bukan tamu Allah yang harus dimuliakan.
Kisruh ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji dikendalikan oleh paradigma keliru, kapitalisasi ibadah. Mekanisme layanan didorong oleh logika pasar kuota, biro perjalanan, hingga paket eksklusif, alih-alih pengabdian. Akibatnya, terjadi diskriminasi jemaah dengan dana lebih mendapat layanan premium, sementara jemaah reguler yang menabung bertahun-tahun harus menerima layanan seadanya. Negara melepaskan fungsi edukatif dan protektifnya, menjadikan ibadah ini sekadar komoditas.
Padahal, haji adalah amanah besar. Dalam Islam, penguasa adalah ra’in (pengurus rakyat) dan mas’ul (penanggung jawab). Artinya, negara wajib memastikan setiap Muslim mampu menunaikan ibadah ini secara tenang dan aman. Kemampuan yang dimaksud bukan hanya individu, tapi juga kondisi sistemik dari logistik, kesehatan, hingga keamanan. Ketika negara abai, maka bukan hanya kredibilitas yang dipertaruhkan, tetapi juga keselamatan dan martabat rakyatnya.
Sudah saatnya negara menghentikan pendekatan teknokratis yang sempit dan mulai membenahi sistem dari akarnya. Pertama, pembenahan manajemen harus dilakukan berbasis kompetensi, bukan sekadar kepentingan birokrasi. Kedua, transparansi dana dan evaluasi terhadap mitra penyedia layanan di Arab Saudi harus melibatkan publik. Ketiga, pemerintah harus menempatkan ibadah haji sebagai pelayanan umat, bukan proyek tahunan.
Lebih jauh, untuk mengakhiri kekacauan tahunan ini, umat Islam perlu menyadari perlunya sistem pemerintahan yang benar-benar berpihak pada kepentingan umat yakni sistem pemerintahan Islam. Dalam sistem ini, negara tidak hanya menjamin seluruh aspek ibadah, tapi juga membangun sistem politik dan ekonomi Islam yang kuat. Baitulmal akan menjadi sumber pembiayaan pelayanan haji tanpa bergantung pada logika komersial. Pelayanan jemaah dipandang sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, bukan lahan keuntungan.
Dengan Khilafah, umat tidak lagi dibebani biaya mahal atau pelayanan buruk. Negara hadir total sebagai pelayan rakyat dan pengurus urusan umat. Haji bukan lagi sekadar ritual tahunan, tapi simbol persatuan dan kekuatan Islam yang terorganisasi. Saatnya negara kembali mengambil peran substantif bukan sekadar hadir di acara pelepasan, tetapi benar-benar menjamin setiap jemaah bisa menunaikan ibadah agung ini dengan aman, layak, dan bermartabat.
Wallahu ‘alam bisshawab