Oleh Shabrina Nibrasalhuda
Mahasiswi
Baru-baru ini, pemerintah Indonesia
mencabut izin operasi empat dari lima perusahaan tambang nikel di Raja Ampat,
Papua Barat Daya. Keputusan ini diambil setelah gelombang tekanan publik
mencuat, menyusul viralnya video kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang
nikel di media sosial. Perusahaan-perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT
Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa,
dan PT Nurham. Sementara PT Gag Nikel, anak usaha PT ANTAM, tetap diberi izin
beroperasi dengan pengawasan ketat (Kompas, 2024).
Langkah ini muncul sebagai reaksi terhadap
penolakan yang meluas dari berbagai pihak—mulai dari masyarakat adat, pegiat
lingkungan, hingga publik figur. Kampanye #SaveRajaAmpat menjadi simbol
keresahan atas kehancuran ekologis di wilayah yang selama ini dikenal sebagai
salah satu surga wisata bahari dunia.
Menurut data Global Forest Watch (2023),
sekitar 11.700 hektar hutan primer di Raja Ampat hilang selama dua dekade
terakhir. Deforestasi dan sedimentasi turut merusak ekosistem laut yang menjadi
sumber penghidupan bagi lebih dari 50.000 penduduk. Ironisnya, wilayah konservasi
yang tergolong Global Geopark UNESCO justru menjadi sasaran eksploitasi karena
adanya celah kebijakan. Misalnya, Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 membuka
peluang bagi perusahaan tambang untuk tetap beroperasi di kawasan hutan
lindung, termasuk di Raja Ampat.
Kondisi ini mencerminkan bagaimana
keputusan politik kerap tunduk pada kekuatan modal. Kasus Raja Ampat hanya satu
dari banyak contoh betapa kuatnya pengaruh oligarki dalam pengelolaan sumber
daya alam di negeri ini. Kolaborasi antara elite kekuasaan dan pemilik modal
telah mengorbankan kepentingan rakyat dan lingkungan, dibungkus dengan dalih
pembangunan dan kesejahteraan.
Saat ini, Indonesia tengah mendorong
hilirisasi industri tambang nikel sebagai fondasi pengembangan ekosistem
kendaraan listrik. Sayangnya, proses ini tidak lepas dari dampak sosial dan
ekologis yang serius. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat ada 380 izin
usaha pertambangan nikel dengan total area hampir satu juta hektar di berbagai
wilayah termasuk Papua dan Sulawesi. Dampaknya berupa kerusakan lingkungan,
konflik agraria, hingga pemiskinan masyarakat lokal.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM
menyatakan Indonesia memimpin dunia dalam pengembangan smelter nikel, dengan
190 proyek berjalan. Namun, data dari Indonesian Mining Association mengungkap
bahwa 70% dari kepemilikan smelter dikuasai oleh perusahaan asing. Kondisi ini
menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari eksploitasi
tersebut?
Proyek-proyek tambang alih-alih membawa
kesejahteraan, justru menciptakan ketimpangan, kerusakan ekologis, dan masalah
sosial berkepanjangan. Sistem demokrasi yang mahal turut memperkuat peran
pemodal dalam politik, membuat pejabat publik lebih berpihak pada korporasi
ketimbang masyarakat.
Kisruh Raja Ampat dan berbagai kasus
serupa menunjukkan bahwa paradigma kepemimpinan saat ini sangat dipengaruhi
oleh ideologi kapitalisme yang berpijak pada sekularisme dan liberalisme.
Sistem ini tidak mengenal batasan moral dalam pengambilan kebijakan, sehingga tak
heran jika para penguasa lebih mengutamakan kepentingan kelompok berduit
daripada rakyat.
Kondisi ini diperparah oleh mahalnya
ongkos politik dalam demokrasi, yang menjadikan para pemegang kekuasaan
bergantung pada sponsor dari pemilik modal. Akibatnya, berbagai kebijakan
justru dilegitimasi demi melayani kepentingan oligarki, meski harus
mengorbankan rakyat dan merusak lingkungan hidup.
Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan
terus terjadi. Solusi fundamental hanya bisa ditemukan dengan menata ulang sistem
kepemimpinan secara menyeluruh berdasarkan nilai-nilai Islam yang menyeluruh
(kaffah). Sistem ini telah terbukti secara historis mampu menciptakan harmoni
antara manusia dengan sesamanya maupun dengan alam.
Dalam sistem kepemimpinan Islam, hubungan
antara penguasa dan rakyat dibangun atas dasar tanggung jawab dan kepercayaan.
Penguasa bertindak sebagai pelindung dan pengurus rakyat, bukan sebagai pelayan
oligarki. Tujuan utama pemerintahan adalah mewujudkan kemaslahatan umum dan
menjaga keseimbangan alam.
Islam menetapkan bahwa pembangunan dan
pengelolaan sumber daya alam hanya boleh dilakukan untuk kepentingan umat
secara keseluruhan. Tidak ada ruang bagi eksploitasi yang hanya menguntungkan
segelintir elite. Sistem ekonomi Islam juga mengatur kepemilikan umum, keuangan
negara, serta sistem hukum yang mencegah kerusakan dan penyimpangan.
Namun, penerapan sistem Islam kaffah hanya
bisa berjalan optimal dalam naungan institusi kepemimpinan Islam yang disebut
Khilafah. Khilafah sebagai sistem pemerintahan menjamin bahwa syariat
diterapkan secara menyeluruh demi kesejahteraan dan keberkahan hidup seluruh
rakyat.
Menegakkan sistem ini tentu membutuhkan
proses dan perjuangan. Kesadaran masyarakat harus dibangun melalui dakwah dan
edukasi tanpa kekerasan. Umat perlu diyakinkan bahwa bertahan dalam sistem
kapitalistik hanya akan memperpanjang penderitaan dan mendatangkan kerusakan,
baik di dunia maupun akhirat.
Raja Ampat menjadi simbol penting bahwa
tanpa perubahan sistemik, kerusakan akan terus berulang. Hanya dengan berpaling
pada sistem ilahi dan mengembalikan peran penguasa sebagai pengurus umat,
harapan akan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan bisa benar-benar
terwujud.