![]() |
Oleh. Joviena Alifia Arfah Pegiat literasi |
Baru-baru ini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sembilan produk pangan olahan yang mengandung unsur babi (porcine). Ironisnya, tujuh di antaranya telah bersertifikat halal. Temuan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang efektivitas sistem jaminan halal yang ada. (http://www.cnbcindonesia.com 21-04-2025)
Kehalalan dalam Perspektif Islam
Islam menekankan pentingnya mengonsumsi makanan yang halal dan baik (thayyib). Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلاً طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik (halâl[an] thayyib[an]) dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 168).
Selain itu, Allah Swt juga berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah [5]: 90).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa konsumsi makanan yang haram, seperti babi, tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga pada spiritualitas dan moralitas umat Islam.
Tantangan Sistem Ekonomi Kapitalisme-Sekuler
Temuan produk halal yang mengandung babi mencerminkan kelemahan sistem ekonomi kapitalisme-sekuler yang berlaku saat ini. Dalam sistem ini, orientasi utama adalah keuntungan materi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai agama. Hal ini menyebabkan standar halal sering kali diabaikan demi efisiensi dan profit.
Sebagai contoh, dalam kasus temuan produk halal yang mengandung babi, terdapat kemungkinan perubahan formula produk setelah sertifikasi halal tanpa pemberitahuan kepada lembaga sertifikasi. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan yang ada. (https://tirto.id, 23-04-2025)
Krisis Kepercayaan terhadap Sertifikasi Halal
Kasus ditemukannya produk bersertifikat halal yang ternyata mengandung unsur babi menciptakan krisis kepercayaan di tengah masyarakat muslim. Masyarakat yang sebelumnya bergantung penuh pada label halal kini mulai mempertanyakan keabsahan dan kejujuran proses sertifikasi. Ini bukan hanya soal teknis laboratorium, tetapi soal akuntabilitas moral dan tanggung jawab terhadap umat. Jika lembaga sertifikasi halal tidak mampu menjamin kehalalan produk, maka label halal kehilangan maknanya di mata publik.
Lebih dari sekadar kesalahan administratif, kasus ini mencerminkan adanya kelemahan struktural dalam sistem pengawasan. Ketidakterbukaan produsen dalam melaporkan perubahan formula produk, minimnya audit berkala, serta kurangnya sinergi antara lembaga terkait memperparah persoalan. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini tidak cukup tangguh untuk menjaga kepercayaan umat dalam hal konsumsi halal.
Solusi: Penerapan Sistem Ekonomi Islam
Untuk memastikan kehalalan makanan dan produk lainnya, diperlukan sistem yang menjadikan hukum Islam sebagai dasar dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua produk yang beredar di masyarakat memenuhi standar halal dan thayyib.
Sejarah mencatat bahwa pada masa Khilafah Islam, terdapat lembaga seperti Qadhi Hisbah yang bertugas mengawasi pasar dan memastikan tidak ada produk haram yang beredar. Penerapan sistem ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan kehalalan produk yang kita hadapi saat ini.
Kesimpulan
Kehalalan makanan adalah bagian integral dari kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendukung sistem yang menjamin kehalalan produk, baik melalui pengawasan yang ketat maupun penerapan sistem ekonomi yang berlandaskan pada hukum Islam. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa konsumsi kita tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mendukung ketaatan kita kepada Allah Swt.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.