Oleh Sri Wulandari
Pegiat Literasi
Kasus judi online seolah
tidak ada habisnya. Makin hari makin banyak yang terjerumus dalam
permainan haram ini. Bukan hanya rakyat kecil, para pejabatpun banyak yang
terjun ke dalam gurita judi online. Bisnis judi online memang sangat
menggiurkan. Menurut data Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
perputaran uangnya di tahun 2025 mencapai 1.200 triliun. (viva.co.id,
27/04/2025).
Keterlibatan pejabat dalam
pusaran judi online terungkap dalam pembacaan dakwaan yang melibatkan pegawai
Kominfo periode Juli 2023-Oktober 2025 di mana muncul nama Muhrijan yang
mengaku menjadi utusan direktur kementrian kominfo untuk bernegoisasi terkait
perlindungan situs judi online. Dalam negoisasi itu melibatkan Muhrijan,
Zulkarnaen Apriliantony (orang dekat Budi Arie), dan Adhi Kismanto (Pegawai
kemenkominfo). Dalam pertemuan itu disepakati tarif perlindungan sebesar
8juta/situs judol. Dan pembagiannya yakni 20% untuk Adhi, 30% untuk
Muhrijan dan 50% untuk Budie Arie. (Kompas.Com News, 20/05/2025).
Hal yang lumrah terjadi
dalam sistem ekonomi kapitalis di mana sesuatu yang menguntungkan pasti akan
mendapat perlindungan. Termasuk dalam kasus judi online ini. Para pejabatpun
tak segan-segan memberikan perlindungan asalkan mereka mendapat imbal balik
dari para kapitalis penyedia layanan situs judi online sebagaimana kasus yang
terjadi pada kementrian perhubungan di atas.
Maraknya kasus judi online
kembali menunjukkan bahwa sistem ekonomi
kapitalis tidak pernah berpihak kepada rakyat kecil. Sistem ini hanya
menghadirkan pemimpin-pemimpin bermuka dua. Di satu sisi pemerintah gembar
gembor ingin memberantas judi online tapi di sisi lain justru melindungi para
kapitalis penyedia layanan situs judi online ini.
Islam Memberantas Segala
Bentuk Perjudian
Dalam Islam perjudian
adalah hal diharamkan oleh syari'at. Apapun bentuknya termasuk judi online.
Sebagaiman disebutkan dalam Al Qur'an surat Al Maidah ayat 90:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ
فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
Negara sebagai institusi
yang menerapkan hukum syarak, akan menindak tegas segala bentuk perjudian yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Negara akan memberikan sanksi yang tegas
dan memberikan efek jera bagi pelaku perjudian, termasuk pihak-pihak yang
menjadi pelindung praktek perjudian.
Sanksi bagi pelaku
perjudian adalah hukuman ta'zir. Di mana hukuman ini tidak diatur dalam Al
Qur'an, tetapi ditentukan oleh penguasa atau hakim berdasarkan pertimbangan
mereka. Sanksi ini berfungsi sebagai jawabir yakni sebagai penebus dosa
bagi pelaku kemaksiatan dan juga berfungsi sebagai jawazir yakni untuk mencegah
orang lain melakukan kemaksiatan yang sama.
Dengan adanya sanksi ini
maka akan meminimalisir kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Tapi semua ini tidak akan pernah terwujud ketika hukum Islam tidak benar-benar
diterapkan secara sempurna dalam sebuah institusi negara.
Wallahualam bissawab