![]() |
Oleh : Sri Lesmana Komunitas Ibu Peduli Generasi |
Kebijakan Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jabar. Mengirimkan siswa nakal ke barak TNI, memunculkan perdebatan luas di tengah masyarakat.
Kebijakan ini lahir dari kekhawatiran atas kenakalan remaja yang meningkat.
seperti, perundungan di sekolah, tawuran, perilaku tak sopan terhadap guru, pembangkangan terhadap orang tua.
Sebagai respons terhadap keresahan masyarakat, Kang Dedi ingin memberi efek jera dengan pembinaan, kedisiplinan, dan menghindari pendekatan hukum pidana yang justru dapat merusak masa depan anak.
Para pendukung kebijakan ini mengemukakan alasannya, bahwa dengan pembinaan di barak TNI dianggap sebagai tempat yang tepat untuk menanamkan, Disiplin, tanggung jawab. Rasa hormat pada otoritas dan rasa kebangsaan.
Daripada dikenakan sanksi hukum atau dikeluarkan dari sekolah, pembinaan semi-militer dianggap bisa menyelamatkan masa depan siswa. Beberapa tokoh publik, dari dunia militer, mengaku berubah menjadi lebih baik karena pernah mengalami pelatihan disiplin keras.
Adapun pihak yang kontra menyampaikan berbagai kritik, bahwasanya
Barak militer bukan tempat yang cocok untuk anak-anak, apalagi jika pendekatannya keras dan kasar Anak bisa mengalami trauma atau gangguan kecemasan. Pendidikan seharusnya membina bukan menghukum.
Menyerahkan pendidikan anak ke lembaga militer dianggap outsourcing atau pengalihan tanggung jawab, pendidik dan orang tua.
Perilaku anak nakal sering berasal dari masalah keluarga, kemiskinan atau lingkungan sosial yang tidak diselesaikan dengan pendekatan militeristik. Anak yang dikirim ke barak TNI bisa distigma sebagai “anak bermasalah” oleh masyarakat dan teman-temannya.
Di Negara lain kebijakan pembinaan remaja nakal ada juga . Seperti di Amerika serikat, yang dimakan ,
“Boot Camps.” Digunakan untuk remaja nakal (juvenile delinquents) dan
hasilnya beragam,
sebagian anak berubah positif.
Namun studi jangka panjang (oleh U.S. Department of Justice) menunjukkan tingkat kekambuhan (recidivism) tetap tinggi.
Di Korea Selatan ada juga Kamp Pelatihan Disiplin, pernah digunakan untuk anak muda yang kecanduan gadget atau malas sekolah.
Kritik muncul karena pendekatan keras dan tekanan mental.
Begitupun di China, Kamp Militer untuk Siswa Bandel,
sering dikritik karena kasus kekerasan dan pelecehan.
Kesimpulan internasional
Keberhasilan pendekatan militer tidak konsisten dan sering disertai dampak psikologis negatif jika tidak dibarengi pendekatan emosional dan konseling.
Adapun dampak Positif (Jika Dikelola Baik)
Meningkatnya disiplin dan kontrol diri,munculnya rasa hormat pada aturan dan otoritas, terbangunnya solidaritas dan ketahanan mental.
Akan tetapi adapula dampak negatifnya, jika pendekatannya kasar atau tidak sesuai usia. Seperti, trauma psikologis, depresi, atau gangguan kecemasan.
Munculnya sikap memberontak atau kebencian terhadap otoritas,
menurunnya rasa harga diri, stigma sosial sebagai “anak gagal.” Psikologi perkembangan anak menekankan bahwa usia remaja adalah masa rapuh yang membutuhkan pendekatan kasih sayang, bukan kekerasan.
Dari sudut psikologi,
pendekatan militeristik efektif untuk anak tertentu dengan karakter kuat dan lingkungan suportif. Namun, tidak cocok untuk semua anak, terutama yang memiliki trauma masa kecil, broken home, atau kecenderungan emosional tinggi.
Efektivitas paling tinggi dicapai bila pendekatan militer dikombinasikan dengan, konseling, psikologis, terapi keluarga,
penguatan nilai dan akhlak melalui teladan sosok atau pigur.
Bagaimana Islam menangani kenakalan Remaja.
Dalam sejarah Islam, khususnya saat zaman ke Khilafahan. Pendekatan terhadap anak bermasalah, sangat berbeda, anak-anak dibina akhlaknya untuk mengenal Allah, bertakwa, dan takut kepada dosa.
Penanaman nilai-nilai aqidah dilakukan di rumah, masjid, dan madrasah. Anak dibina melalui contoh langsung dari orang tua dan guru yang berakhlak mulia.Tidak hanya mengandalkan hukuman, tapi teladan dan kasih sayang.
Masyarakat Khilafah menjaga amar ma’ruf nahi munkar. Anak tidak mudah terpengaruh lingkungan buruk. Negara menjamin pendidikan berbasis aqidah Islam. Anak nakal dibina oleh guru, ulama, atau tokoh masyarakat. Bila berat, bisa ditindak oleh Qadhi (hakim) Hisbah dengan hukuman yang mendidik.
Dalam Islam, anak belum baligh, tidak dikenai hukuman hudud. Tapi tetap bisa dibina dengan teguran, nasihat, dan pemisahan sosial jika diperlukan.
Rasulullah SAW bersabda:
"Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat saat usia 7 tahun, dan pukullah mereka (dengan ringan) bila tak mengerjakan saat usia 10 tahun.” (HR. Abu Dawud)
Ini menunjukkan hukuman dalam Islam, bertahap dan edukatif bukan kekerasan buta.
Jadi pada hatekatnya,
Kebijakan pengiriman anak nakal ke barak TNI merupakan respons terhadap lemahnya sistem pembinaan anak. Pro-kontra muncul tergantung pada sudut pandang ,disiplin vs trauma. Dari sisi psikologi, efektivitasnya rendah jika tidak dibarengi pendekatan emosional.
Islam menawarkan solusi yang lebih manusiawi, spiritual, dan menyeluruh, melalui pendidikan aqidah, lingkungan Islami, dan peran negara dalam membina bukan menghukum.
Wallahu'alam bisshawab