![]() |
Oleh: Tasha Lutfhi Ainy (Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas) |
Dalam politik modern, kekuasaan dan uang adalah dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Di Indonesia, hubungan keduanya bukan hanya erat, tetapi telah bertransformasi menjadi salah satu akar utama korupsi politik. Sayangnya, isu keuangan politik masih belum mendapatkan perhatian serius dalam kerangka reformasi demokrasi kita.
Pilkada 2024 kembali menunjukkan betapa mahalnya ongkos politik. Biaya kampanye yang membengkak, kebutuhan logistik di lapangan, hingga biaya “mengamankan suara” diberbagai tingkatan, memperlihatkan bahwa akses terhadap kekuasaan kini nyaris menjadi monopoli mereka yang memiliki sumber daya finansial besar.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan telah menciptakan disinsentif besar bagi kandidat-kandidat potensial yang berintegritas namun miskin modal.
Dalam teori politik klasik, demokrasi seharusnya menawarkan kesempatan setara kepada seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam kekuasaan.
Namun realitas keuangan politik kita justru menghasilkan oligarki baru — segelintir elite ekonomi yang mengendalikan arah demokrasi lewat skema pembiayaan politik yang tidak transparan.
Lebih parah lagi, sistem pembiayaan politik yang tidak sehat ini menyiapkan lingkaran setan korupsi sejak awal: kandidat yang terpilih “berutang” kepada penyokong dana mereka, dan konsekuensinya adalah kebijakan publik yang dikompromikan untuk membayar hutang politik.
Kasus-kasus korupsi berjemaah yang terungkap oleh KPK sepanjang satu dekade terakhir hanya sebagian kecil dari fenomena gunung es ini.
Sayangnya, regulasi yang ada hari ini — seperti UU Pemilu maupun peraturan tentang laporan dana kampanye — lebih banyak bersifat simbolis. Pengawasan atas dana
kampanye masih sebatas compliance checklist ketimbang audit substantif. Keterbukaan data sumbangan politik pun hanya berlaku di atas kertas, tanpa mekanisme verifikasi independen yang memadai.
Jika kita serius ingin membenahi demokrasi, reformasi keuangan politik harus menjadi prioritas utama. Setidaknya ada tiga langkah mendesak:
Pertama, memperketat pelaporan dan audit dana kampanye dengan melibatkan lembaga keuangan dan auditor independen.
Kedua, membatasi secara tegas sumbangan individu dan korporasi, serta membuka semua data secara real-time kepada publik.
Ketiga, memperbesar skema pendanaan politik negara, agar partai dan kandidat tidak sepenuhnya bergantung pada sumber dana privat yang sarat kepentingan tersembunyi.
Tanpa reformasi radikal dalam keuangan politik, kita hanya mempercantik demokrasi di permukaan, sambil membiarkan jantungnya membusuk dari dalam. Demokrasi sejati tidak mungkin bertahan lama bila kekuasaan terus dibeli dan dijual dengan harga tinggi. Dan jika kita tidak bertindak sekarang, kita harus bersiap menanggung biaya sosial dan politik yang jauh lebih mahal di masa depan.