![]() |
Ilustrasi |
Oleh : Aniyah
Di sudut malam sunyi yang rapuh,
kupeluk sepi seperti dulu—ketika kecil,
tak ada tangan yang menuntunku tidur,
tak ada bisik lembut membasuh luka jatuhku.
Aku tumbuh dari diam dan debu,
mengukir prestasi demi dilihat,
menggapai langit agar sekali saja
kau menoleh—meski tanpa cinta.
Namun matamu selalu jauh,
hatimu seperti pintu yang tak pernah kubuka,
aku anakmu, bukan karena darah,
tapi karena aku terus berharap pada kasih
yang tak kau tanam sejak dunia memanggilku "anak".
Kini aku dewasa,
berdiri di atas keberhasilan yang sepi,
setiap tepuk tangan terasa hampa
karena bukan dari tanganmu, Bu.
Aku tak ingin harta, tak ingin pujian,
aku hanya ingin satu pelukmu—yang tak pernah ada.
Aku ingin menjadi anak kecil
yang kau panggil dengan cinta, walau hanya pura-pura.
Dan andai dunia memberiku satu keajaiban,
aku ingin ibu—bukan karena rahim,
tapi karena hatinya bisa hangatkan luka lama.
Aku ingin ibu—yang bisa kupanggil tanpa gemetar,
tanpa takut kecewa, tanpa merasa tak berharga.
Karena aku rindu,
bukan pada masa kecilku—
tapi pada ibu yang tak pernah ada di dalamnya.
Canduang, 18 Mei 2025