![]() |
Oleh: Neny Nuraeny Praktisi Pendidikan |
Ketahanan keluarga adalah pondasi penting untuk membangun masa depan bangsa. Beragam program, kebijakan, hingga peraturan daerah telah dirancang untuk memperkuat institusi keluarga. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa berbagai upaya tersebut sering kali belum menghasilkan perubahan yang berarti.
Masih tingginya angka perceraian, maraknya kekerasan dalam rumah tangga, serta renggangnya hubungan antar anggota keluarga menjadi bukti nyata bahwa krisis ketahanan keluarga terus terjadi di tengah masyarakat.
Dilansir dari media Tribunjabar.id pada Rabu (16/4/2025), Anggota Komisi 3 DPRD Jawa Barat, Tia Fitriani, menegaskan penguatan institusi keluarga amatlah penting untuk pembangunan daerah. Dalam acara Sosialisasi Perda Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2014 yang digelar di Desa Ciheulang, Ciparay, Tia menekankan dua aspek utama, yaitu pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak dan program keluarga berencana. Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat harus tidak hanya memahami isi perda tersebut, tetapi juga mengamalkannya untuk mewujudkan masyarakat yang kuat, sejahtera, dan harmonis.
Andai Perda itu betul-betul tersosialisasikan dengan baik sejak awal, seharusnya saat ini kita sudah melihat hasil yang nyata di tengah masyarakat. Faktanya, Perda yang disahkan sejak tahun 2014 itu baru kembali diingatkan keberadaannya setelah satu dekade berlalu. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, perda tersebut memang tidak disiapkan untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat, melainkan sekadar formalitas regulasi.
Ketahanan Keluarga Runtuh di Bawah Bayang Kapitalisme
Kerapuhan ketahanan keluarga yang kita saksikan hari ini bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Ia adalah buah dari akar persoalan yang lebih dalam yakni dominasi sistem kapitalisme sekuler dalam mengatur kehidupan manusia. Kapitalisme, yang menuhankan kebebasan individu dan menempatkan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan, secara perlahan namun pasti telah merusak pondasi keluarga.
Dalam sistem kapitalis, nilai-nilai keluarga digeser menjadi hubungan transaksional. Peran suami, istri, dan anak dipahami dalam kerangka hak dan tuntutan individu, bukan sebagai bagian dari amanah dan tanggung jawab sosial yang luhur. Suami tidak lagi merasa bertanggung jawab sebagai pemimpin keluarga; istri terdorong untuk mengejar kemandirian mutlak atas nama "pemberdayaan"; sementara anak-anak tumbuh dalam budaya permisif yang menihilkan ketaatan dan adab. Semua ini menciptakan ketegangan, pertentangan, dan akhirnya kehancuran dalam institusi keluarga.
Celakanya, upaya membangun kembali ketahanan keluarga pun masih terjebak dalam kerangka pemikiran yang sama. Peraturan Daerah (Perda) yang digadang-gadang untuk memperkuat ketahanan keluarga, justru membingkai konsep keluarga melalui pendekatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang kental dengan nuansa feminisme modern. Alih-alih memperkokoh struktur keluarga, pendekatan ini malah berpotensi menggeser fungsi alami ayah, ibu, dan anak dalam keluarga, serta menumbuhkan relasi yang penuh kecurigaan dan persaingan di dalam rumah tangga itu sendiri.
Dari Rumah Tangga Islami Menuju Peradaban Gemilang
Sejarah mencatat bahwa kejayaan sebuah peradaban berawal dari kekuatan institusi terkecil yakni keluarga. Rumah tangga Islami bukan hanya menjadi tempat berteduh, tetapi juga menjadi pondasi utama dalam menanamkan nilai keimanan, ketaatan, dan akhlak yang luhur. Dari keluarga inilah tumbuh generasi tangguh, pemimpin yang adil, dan umat yang istiqamah dalam memperjuangkan kebenaran.
Islam memberikan perhatian besar terhadap pembentukan keluarga. Peran suami, istri, dan anak-anak diatur secara detail dalam syariat Islam, untuk menciptakan keharmonisan yang berdasarkan ketaatan kepada Allah. Suami berperan sebagai pemimpin dan pelindung keluarga (qawwam), istri sebagai pendidik generasi (ummuwarobatul bait), dan anak-anak sebagai amanah yang harus dibimbing dengan ilmu dan adab yang baik.
Rasulullah saw., Bersabda:
”Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanya. Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertaggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Islam menetapkan suami menjadi pemimpin rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk menafkahi, mencukupi serta melindungi seluruh anggota keluarganya. Suami juga berperan sebagai nahkoda yang mengendalikan kemana arah akan berlayar, dan kepemimpinan tersebut telah Allah tanamkan kepada para pundak suami.
Selain itu peran yang mulia yang di emban oleh seorang istri atau ibu sebagai ummu wa rabbatul bait. Istri wajib melaksanakan perintah suaminya selama masih dalam Koridor aturan Islam. Ketika istri senantiasa taat dan patuh terhadap suaminya, maka itu terkategorikan istri shalihah. Allah Swt., telah berfirman:
“Laki-laki (suami) itu pelindung dari perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan kerena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” (QS. An- Nisa: 34)
Islam menempatkan keluarga sebagai bagian dari masyarakat yang saling berinteraksi satu dengan yang lain. Keluarga muslim harus aktif menanamkan nilai amar makruf nahi mungkar, bahkan berani mengoreksi penguasa jika berlaku zalim, dengan tetap berpegang pada syariat Islam.
Keluarga muslim memiliki tujuan utama untuk meraih ridha Allah dengan memperkuat iman, menetapkan visi yang terarah, dan menjaga keikhlasan dalam beramal. Sebuah rumah tangga dibangun atas dasar iman, bukan mementingkan dunia, melainkan karena dorongan ketaatan kepada Allah, sehingga kehidupan menjadi penuh berkah (sakinah, mawaddah, wa rahmah).
Keluarga yang kuat harus didukung oleh negara yang bertakwa, yaitu negara yang menerapkan hukum-hukum Allah. Negara yang berjalan di atas prinsip syariat akan memastikan bahwa nilai-nilai Islam hidup dalam semua aspek kehidupan: pendidikan, ekonomi, sosial, hingga politik. Dengan demikian, keluarga sebagai pilar utama masyarakat dapat berfungsi optimal dalam membina generasi beriman, membentuk karakter mulia, dan mengokohkan peradaban Islam.
Ketika pemahaman Islam mengakar kuat dalam keluarga, masyarakat, dan negara, berbagai ideologi rusak seperti kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme dapat ditolak. Hanya Islam satu-satunya solusi permasalahan umat. Melalui dakwah yang dibangun dari keluarga muslim, Islam akan kembali mewarnai kehidupan masyarakat secara menyeluruh sehingga terwujudnya institusi yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallahualam bissawab