![]() |
Oleh: Intan Lestari |
Kasus penyelewengan dalam distribusi barang kebutuhan pokok kembali mencuat di Indonesia. Setelah sebelumnya, masyarakat dihebohkan dengan kasus Pertamax oplosan, kini muncul persoalan serupa pada minyak goreng kemasan merek Minyakita. Fenomena ini semakin memperjelas bagaimana lemahnya pengawasan terhadap produk-produk yang beredar di pasaran, serta bagaimana kepentingan bisnis sering kali lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Belum usai masalah Pertamax yang dioplos, kini muncul lagi masalah baru: Minyakita ternyata juga dioplos. Dilansir dari artikel _tirto.id_ , Satgas Pangan Polri menyatakan sedang menyelidiki temuan adanya minyak goreng kemasan bermerek Minyakita yang dijual di pasaran dengan isi yang tidak sesuai takaran pada label kemasan.
Ketua Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol. Helfi Assegaf, melakukan pengukuran terhadap tiga merek Minyakita yang diproduksi oleh tiga produsen berbeda dan menemukan bahwa ukurannya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam label kemasan. _"Hasil pengukuran sementara menunjukkan bahwa dalam label tercantum 1 liter, tetapi ternyata hanya berisi 700—900 mililiter,"_ ujarnya.
Lebih dari itu, selain volume yang tidak sesuai, harga jualnya juga melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Meskipun di kemasan tertulis harga Rp15.700 per liter, minyak ini dijual dengan harga Rp18.000 per liter. Menteri Pertanian juga dengan tegas menyatakan bahwa perusahaan yang bersangkutan harus ditutup dan izinnya akan dicabut karena telah merugikan masyarakat.
*Permasalahan Akan Terus Berulang*
Terbitnya Minyakita oplosan membuktikan bahwa solusi yang diberikan pada kasus sebelumnya tidak mampu membuat pelaku jera. Akibatnya, muncullah kasus-kasus baru yang tak terduga, seperti halnya Minyakita ini.
Adanya Minyakita oplosan dan takaran yang tidak sesuai di pasaran menunjukkan gagalnya negara dalam mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh para korporat yang hanya berorientasi pada keuntungan semata. Di sisi lain, hal ini juga membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan saat ini berada di tangan korporasi.
Lantas, bagaimana peran negara? Negara tampaknya hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapitalis, menjunjung tinggi kepentingan mereka tanpa memedulikan rakyat yang menanggung akibatnya. Bahkan, tidak ada sanksi tegas yang benar-benar memberikan efek jera bagi perusahaan yang melakukan kecurangan.
*Buah Penerapan Sistem Ekonomi Kapitalisme*
Di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan liberalisme, korporat mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan dari hulu hingga hilir. Negara bukan lagi pengurus rakyat, melainkan hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator bagi para korporat, lebih mementingkan kepentingan mereka daripada kesejahteraan masyarakat.
Inilah paradigma kapitalisme yang menjadikan negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Negara seolah lupa perannya karena dikaburkan oleh sistem saat ini yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibat pemisahan ini, setiap permasalahan yang dihadapi tidak boleh disangkutpautkan dengan agama, padahal Islam sebagai agama memiliki solusi untuk setiap permasalahan.
*Kembali kepada Islam: Suatu Keharusan*
Dalam Islam, pengelolaan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab, dalam Islam, pemimpin adalah _raa'in_ atau pengurus umat. Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan menjadi tanggung jawab negara melalui berbagai mekanisme yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak boleh diserahkan kepada korporasi, baik dari hulu hingga hilir.
Selain menjaga pasokan produk pangan seperti Minyakita, negara juga wajib mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Dengan demikian, diharapkan tidak ada kecurangan dalam produksi maupun distribusi suatu produk di pasaran.
Dalam Islam, terdapat _Qadhi Hisbah_ yang bertugas melakukan inspeksi pasar. Jika ditemukan kecurangan seperti kasus Minyakita oplosan, negara akan bertindak tegas dengan memberikan sanksi berat, bahkan pelaku bisa kehilangan hak untuk berusaha dan berdagang. Secara singkat, tugas _Qadhi Hisbah_ adalah melakukan _amar makruf nahi mungkar_ di tempat-tempat umum seperti pasar. Hal ini bertujuan untuk mencegah penipuan, meminta pertanggungjawaban pelaku, menetapkan vonis atasnya, memastikan kelayakan barang dagangan, serta mencegah kejahatan di jalanan.
Rasulullah saw. sendiri pernah melakukan pengawasan pasar. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, _“Bahwasanya Rasulullah saw. melewati tumpukan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Jari beliau mendapati bagian bawah makanan tersebut basah. Lalu beliau bertanya, ‘Apakah ini, wahai pemilik makanan?’ Dia menjawab, ‘Terkena hujan, ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Tidakkah seharusnya engkau meletakkan yang terkena hujan itu di bagian atas makanan sehingga bisa diketahui oleh semua orang? Siapa saja yang melakukan penipuan, maka dia tidak termasuk umatku.’”_
Umar bin Khattab ra. adalah satu-satunya khalifah yang secara khusus melakukan inspeksi pasar. Ketika Khalifah Al-Mahdi berkuasa, beliau menetapkan aparat khusus dalam bidang hisbah (pengawasan harga dan timbangan), sehingga menjadi bagian tersendiri dalam peradilan.
Inilah gambaran ketika negara menerapkan sistem Islam sebagai sistem kehidupan. Sistem ini menerapkan seluruh hukum syariat Allah dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi dan pengawasan pasar. Sistem ini disebut _Khilafah Islamiyyah_ , yang akan memimpin dunia dengan keadilannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.