![]() |
Oleh Riska Aktivis Dakwah |
Korupsi telah menjadi masalah besar di Indonesia, dengan kerugian negara yang mencapai angka fantastis, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus besar, termasuk pengelolaan minyak dan bahan bakar. Salah satu contoh, jika uang satu triliun rupiah dimanfaatkan dengan benar, bisa membawa perubahan signifikan untuk rakyat. Misalnya, satu triliun bisa membangun atau merenovasi ribuan sekolah, memperbaiki fasilitas kesehatan, membangun infrastruktur di daerah terpencil, atau memberikan bantuan sosial kepada keluarga miskin. Namun, kenyataannya uang triliunan itu sering kali hanya dinikmati oleh segelintir orang, termasuk para koruptor yang tidak puas dengan kekayaan yang mereka miliki, meskipun gaji mereka jauh lebih besar dari rakyat pada umumnya.
Baru-baru ini, rakyat dihebohkan dengan kasus "pertamax oplosan", dimana para tersangka mencampur RON 90 (Pertalite) dengan RON 92 (pertamax) namun menjual kepada masyarakat dengan harga pertamax. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, kerugian negara akibat korupsi dalam pengelolaan minyak Pertamina antara 2018 hingga 2023 diperkirakan lebih besar dari Rp193,7 triliun, yang jika dikalikan dengan lima tahun bisa mencapai Rp968,5 triliun atau satu kuadriliun.
Sifat rakus yang dimiliki para koruptor ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Para pejabat korup ini tidak peduli dengan kesulitan rakyat, bahkan merugikan mereka dalam hal yang sepele sekalipun. Contohnya, penurunan takaran minyak yang dijual di pasar. Pada inspeksi mendadak yang dilakukan Menteri Pertanian pada Sabtu (8/3/2025) di Pasar Lenteng Agung, ditemukan bahwa kemasan yang seharusnya berisi 1 liter minyak hanya berisi sekitar 750 hingga 800 mililiter. Kecurangan seperti ini sangat merugikan masyarakat, terutama di bulan Ramadhan ketika kebutuhan bahan pokok meningkat.
Meski terlihat sedikit, selisih 250 mL per kemasan, namun akan sangat besar jika dihitung untuk seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 275 juta jiwa. Jika kita asumsikan harga minyak per mL adalah Rp15, maka kerugian negara bisa mencapai sekitar Rp1.031 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa kecurangan yang dilakukan oleh para korporasi dan individu tertentu berlangsung secara sistematis dan terorganisir.
Kasus-kasus seperti pertamax dan minyak kita “oplosan" menunjukkan kegagalan negara dalam mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh korporasi yang hanya berorientasi pada keuntungan. Hal ini juga mencerminkan bahwa distribusi kebutuhan pangan dan energi di tangan korporasi, sementara negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan kapital. Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku, negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan rakyat.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam mengatur bahwa pengelolaan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali negara. Pemimpin dalam Islam dianggap sebagai "ra’ain" atau pengurus umat, yang bertugas melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat, bukan mencari keuntungan. Negara bertanggung jawab penuh dalam menjaga pasokan kebutuhan pokok seperti pangan, memastikan distribusinya berjalan dengan adil, dan mengawasi seluruh rantai distribusi. Jika ditemukan kecurangan seperti yang terjadi pada kasus minyak oplosan, negara wajib memberikan sanksi tegas, bahkan melarang pelaku untuk melanjutkan usaha produksi atau perdagangan mereka.
Dalam Islam, pengawasan pasar dilakukan oleh qadhi hisbah, yang bertugas memastikan tidak ada distorsi pasar dan kecurangan. Jika ditemukan pelanggaran, negara akan memberikan hukuman yang tegas sesuai dengan syariat, yang bertujuan untuk melindungi rakyat dan memastikan keadilan di pasar. Dengan demikian, pengaturan kebutuhan dasar rakyat bukanlah bisnis atau ladang keuntungan, melainkan tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan kepada umat. Oleh karena itu hanya sistem Islam yang layak diterapkan dalam kehidupan.
Wallahualam bissawwab.