![]() |
Oleh : Mutiara Dwi Persada |
Di tengah upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, muncul kebijakan baru yang menarik perhatian, yaitu pembentukan _Indonesia Investment Authority_ atau yang dikenal dengan Danantara. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis dalam mengoptimalkan modal dan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk bersaing di pasar global.
Baru-baru ini, berita mengenai permintaan negara-negara maju agar Indonesia berinvestasi di wilayah mereka menjadi sorotan. Seperti dilansir _CNN Indonesia_ , Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa beberapa negara, termasuk Filipina dan India, meminta Indonesia untuk menanamkan modal di negara mereka. Hal ini berkaitan dengan kebijakan _local content_ yang semakin menjadi perhatian global, termasuk dalam kebijakan _Inflation Reduction Act_ di Amerika Serikat (AS).
Dari sini, terlihat bahwa konsep ekonomi yang sedang disiapkan adalah kapitalisme negara yang tetap mengusung ekonomi kerakyatan, namun tetap mempertahankan oligarki yang telah menjadi bagian dari jaringan kekuasaan. Pembentukan Danantara menjadi alat optimalisasi modal dan aset BUMN, serupa dengan model yang digunakan Tiongkok dalam mengejar pertumbuhan ekonominya. Dengan demikian, para aktor yang akan menikmati manfaat dari Danantara adalah para oligarki, sebagaimana terlihat dari jajaran petinggi lembaga tersebut.
Apa dampak yang akan Ditimbulkan ?
Modal besar yang digunakan dalam skema ini bersumber dari uang rakyat, yang kemudian dipertaruhkan dalam persaingan bebas global. Dana ini akan digunakan untuk menarik investasi asing, sebagai modal investasi Indonesia di luar negeri, atau untuk membiayai program prioritas pemerintah seperti hilirisasi sumber daya mineral dan batu bara (minerba) serta industri sawit. Dengan demikian, secara tidak langsung, uang dalam skema Danantara akan dinikmati oleh para oligarki dan perusahaan swasta di sektor minerba serta sawit untuk memperluas ekspansi bisnis mereka di pasar global.
Jika investasi ini mengalami kegagalan, maka uang rakyat akan hilang begitu saja tanpa ada jaminan pengembalian. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukanlah solusi yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, melainkan justru semakin menyulitkan dan merugikan mereka. Sementara itu, pihak yang tetap memperoleh keuntungan adalah para oligarki.
Fenomena ini juga menandakan lemahnya peran negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Seharusnya, negara memastikan kesejahteraan masyarakat, bukan malah memfasilitasi kepentingan segelintir kelompok elit. Akibatnya, banyak masyarakat yang hidup dalam kesulitan, tidak mendapatkan pemenuhan hak-hak dasar mereka, mengalami kesulitan ekonomi, serta merasakan ketidakpastian dalam jaminan keamanan dan kesejahteraan.
Solusi Islam dalam Mengelola Kepemilikan dan Ekonomi
Islam merupakan agama yang sempurna dan memiliki sistem ekonomi yang jelas dalam mengatur konsep kepemilikan serta pengelolaannya. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga kategori utama, yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu.
1. Kepemilikan umum mencakup sumber daya yang keberadaannya dibutuhkan oleh seluruh masyarakat, seperti air, padang rumput, api (sumber energi), serta tambang. Pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, tetapi hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dan tidak boleh dimiliki oleh individu atau korporasi tertentu. Dengan sistem ini, kesempatan kerja bagi masyarakat luas akan lebih terbuka, dan kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin karena negara mengambil peran dalam memenuhi kebutuhan mereka.
2. Kepemilikan negara meliputi aset yang diperoleh melalui kebijakan pemerintahan, seperti tanah hasil perang, pendapatan dari zakat, jizyah, kharaj, serta tanah mati yang dihidupkan oleh negara. Aset ini harus dikelola demi kepentingan umum dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, termasuk pejabat pemerintahan.
3. Kepemilikan individu, mengacu pada hak setiap Muslim untuk memiliki harta secara pribadi melalui cara yang halal, seperti bekerja, berdagang, atau menerima warisan. Islam menjunjung tinggi kepemilikan pribadi selama diperoleh dengan cara yang sesuai dengan syariat dan tidak merugikan orang lain.
Dengan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan rakyat dapat terwujud secara merata, bukan hanya menguntungkan segelintir elite atau oligarki. Untuk menerapkan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh, dibutuhkan dukungan dari sistem politik Islam dan sistem lainnya yang sejalan dengan tuntunan syariat. Sayangnya, saat ini masyarakat masih menaruh harapan pada sistem kapitalisme demokrasi yang telah diterapkan selama lebih dari satu abad. Alih-alih menyelesaikan problematika.
Wallahu'alam bishowab