Penulis : Melta Vatmala Sari
Opini |Di beberapa tempat dalam sepekan terakhir, ada kelangkaan gas elpiji atau LPG 3 kilogram. Ini termasuk di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Merry (56), pemilik pangkalan gas LPG 3 kilogram, mengatakan bahwa kekurangan gas disebabkan oleh ketersediaan agen yang terbatas. Masa libur panjang Isra Mikraj dan Imlek menyebabkan penundaan dalam pengiriman gas ke pangkalan-pangkalan. Merry mengatakan pada Jumat, 31 Januari 2025, "Kelangkaannya seminggu lebih karena ada tanggal merah atau Imlek kemarin." (Beritasatu dot com)
Namun, di tengah ketidakpastian LPG bersubsidi, muncul elpiji pink Bright Gas ukuran 3 kg dengan harga 3 kali lipat dari harga LPG melon bersubsidi, yaitu 56 ribu. Namun, kualitasnya sama, dan keamanan Bright Gas yang lebih menjanjikan adalah satu-satunya perbedaan. Peningkatan jumlah permintaan masyarakat terhadap LPG dari tahun 2024 sampai 2025 semakin besar hingga mencapai 8 juta ton. Akan tetapi produksi dalam negeri hanya 2 ton saja sehingga 6 juta ton sisanya diperoleh melalui impor. Jika terjadi sedikit hambatan dalam distribusi LPG, ketergantungan pemerintah pada impor dapat menyebabkan kelangkaan di dalam negeri. Jika terjadi kelangkaan, pengusaha asing juga dapat menaikkan harga untuk mendapatkan untung sebanyak mungkin.
Ketidakmampuan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri ditunjukkan oleh ketergantungannya pada impor. Meskipun Indonesia memiliki banyak sumber daya alam, termasuk gas alam yang digunakan untuk LPG, sayangnya sumber daya alam tersebut juga diprivatisasi oleh perusahaan domestik dan asing. LPG dikeluhkan langka di berbagai tempat. Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Kebijakan ini pasti sulit, bahkan dapat menghancurkan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperluas perusahaan pemilik pangkalan. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, perubahan ini adalah keniscayaan karena salah satu ciri sistemnya adalah memudahkan pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Selain itu, sistem ini memungkinkan liberalisasi (migas) dengan membiarkan korporasi mengelola sumber daya alam (SDA) yang sebenarnya milik rakyat. Negara tidak boleh memberikan pengelolaan minyak dan gas ini kepada individu atau perusahaan tertentu.
Karena Indonesia memiliki sumber gas yang sangat besar, kebijakan pemarintah untuk beralih dari minyak tanah ke LPG adalah kebutuhan pokok, sehingga hal ini akan sangat memberatkan masyarakat jika diserahkan pada mekanisme pasar. Gas akhirnya menjadi lahan bisnis penguasa karena diurus oleh sistem kapitalis. Itu juga berlaku untuk rakyatnya sendiri. Kebijakan Kapitalisme ini pasti akan menguntungkan korporasi dan mengorbankan rakyat. Dengan perekonomian rakyat yang semakin memburuk, kelangkaan LPG ini menambah beban rakyat.
Pemerintah adalah pihak yang sangat bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat. Pemerintah harus mengupayakan berbagai cara agar memudahkan rakyatnya untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam Islam, gas termasuk dalam kepemilikan umum dan boleh dinikmati atau dimanfaatkan oleh semua orang, apakah kaya, miskin, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa maupun orang tua tanpa ada pengecualian dan perbedaan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Kaum muslimin bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api."
Migas merupakan jenis harta milik umum (rakyat) dimana pendapatannya menjadi milik seluruh kaum muslim dan mereka berserikat di dalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud) Oleh karena itu, setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya. Tidak ada perbedaan, apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, muslim atau non muslim. Adapun pengelolaannya, karena migas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung, melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya, serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, maka negara yang berhak mengambil alih penguasaan eksploitasi mewakili kaum Muslim.