![]() |
Oleh: Sumiyah Umi Hanifah Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik |
Opini | Kehadiran bulan Ramadan selalu dinanti oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Sayangnya, kehadiran bulan suci ini dari tahun ke tahun seringkali diwarnai keluh-kesah masyarakat. Mereka terkaget-kaget melihat harga-harga kebutuhan pokok yang makin meroket. Tidak dapat dimungkiri bahwa kenaikan harga-harga tersebut membuat hati mereka terusik. Pasalnya, mayoritas umat Islam tengah bersiap-siap untuk melaksanakan berbagai rangkaian ibadah di bulan Ramadan. Inilah salah satu problematika umat yang hingga kini masih tetap menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi para pengampu negeri.
Syamsiah, salah seorang pedagang sembako di Pasar Taman Rawa Indah (Tamrin) Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, mengeluhkan kondisi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di pasaran. Ia mengatakan bahwa kenaikan tersebut sudah terjadi sejak dua pekan lalu, terutama untuk komoditas minyak goreng dan gula. Syamsiah dan para pedagang lainnya berharap, pemerintah dapat menstabilkan harga-harga tersebut, sebelum makin meroket saat puasa nanti. Sebab, kenaikan harga-harga pasti akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. (tribunnews.com, Jumat, 7/2/2025)
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan peringatan dini terkait potensi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan menjelang bulan Ramadan tahun 2025. Kepala BPS, Amalia Adininggar, mengatakan, selain minyak goreng, komoditas pangan yang terus merangkak naik diantaranya yaitu: telur ayam ras, daging ayam ras, cabai merah, dan cabai rawit.
Pihaknya menyoroti tentang fakta di lapangan bahwasanya telur ayam ras telah dijual di atas Harga Acuan Penjualan (HAP) yaitu sebesar Rp31.322 per kg, dan harga tertinggi mencapai Rp42.000 per kg, di Kepulauan Anambas, Provinsi Riau. Sedangkan daging ayam ras harga jualnya mencapai Rp38.768 per kg. Bahkan di wilayah Papua harga daging ayam menembus angka Rp100 ribu per kg (rubicnews.com, 7/2/2025)
Pemerintah berdalih bahwa penyebab kenaikan harga di antaranya yaitu: adanya hukum permintaan dan penawaran, penimbunan barang, kinerja pasokan yang terganggu, dan gaya hidup masyarakat yang konsumtif. Padahal, terulangnya kenaikan harga-harga menjelang Ramadan, menunjukkan adanya masalah pendistribusian barang. Inilah yang menjadi akar penyebab terjadinya kelangkaan, yang kemudian berakibat harga-harga kebutuhan pokok secara kompak meroket. Adapun terkait dengan aktivitas penimbunan barang, biasanya ini dilakukan oleh pelaku pasar atau spekulan yang curang.
Sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, telah melahirkan manusia-manusia yang hanya memikirkan keuntungan besar bagi dirinya. Para spekulan jahat yang tidak peduli dengan nasib orang lain. Banyaknya permintaan barang pada bulan Ramadan, membuat para spekulan jahat melakukan penimbunan barang. Cara licik seperti ini dianggap wajar oleh negara yang mengusung ideologi kapitalisme. Sebuah sistem batil yang merupakan produk kaum kafir Barat yang sekuler, yakni menjauhkan agama dari kehidupan masyarakat.
Padahal, ajaran Islam dengan jelas telah memberikan ancaman kepada siapa saja yang melakukan praktik penimbunan barang. Sabda Rasulullah saw, "Barang siapa menimbun makanan orang-orang muslim, maka Allah akan mengutuknya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan. (HR. Ibnu Majah)
Dalam sistem kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pelayan rakyat. Negara kapitalis sering kali mengeluarkan kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi justru banyak yang pro asing (oligarki). Saat itu, peran negara sebagai pelayan rakyat lumpuh di mata rakyatnya. Padahal, negara adalah pihak pertama yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi berbagai persoalan rakyat, termasuk menekan gejolak harga di pasaran, sehingga masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan mereka. Tentu bukan hanya di bulan Ramadan saja, tapi juga di bulan-bulan lainnya.
Kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus terulang ini menunjukkan kegagalan negara kapitalis dalam menjaga stabilitas harga. Negara kapitalis juga gagal dalam mengurus pasokan barang-barang yang dibutuhkan rakyat. Sementara kondisi ekonomi rakyat Indonesia saat ini benar-benar "amburadul".
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah), yang mewajibkan seorang imam (kepala negara) melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat dan bertanggungjawab mengurus seluruh urusan rakyat. Termasuk dalam urusan pemenuhan kebutuhan pokok, baik itu berupa barang, jasa, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan rakyatnya. Sabda Rasulullah saw, "Imam (Pemimpin negara) adalah raa'in (pengurus) rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus. (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam menjadikan ketersediaan pangan dan jaminan distribusi yang merata. Aturan jual-beli dalam Islam memastikan tidak ada penimbunan, tidak ada kecurangan, dan tidak ada permainan harga, sehingga masyarakat bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya dengan harga yang terjangkau. Negara khilafah juga akan meningkatkan produksi untuk menyelesaikan problem kelangkaan, pemantauan, dan pengendalian harga komoditas-komoditas beserta antisipasinya sesuai dengan aturan Islam.
Selain itu, dengan penerapan sistem ekonomi Islam di tengah masyarakat meniscayakan adanya pengaturan yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat atas pangan, dengan harga murah dan juga mudah diakses. Oleh karena itu, sudah saatnya negara menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Sehingga keberkahan turun ke bumi. Hanya negara khilafah mewujudkan yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebab negara khilafah merupakan satu-satunya sistem kehidupan yang sahih, warisan Rasulullah saw., sehingga sesuai dengan petunjuk dari Allah Swt. yang termaktub di dalam Al-Quran dan As-sunnah.
Wallahualam bissawwab.