Pada 6 Oktober 2025, presiden Prabowo Subianto bersama beberapa pejabat dalam Kabinet Merah Putih melakukan peninjauan ke kawasan smelter PT Tinindo Internusa di Pangkalpinang, Bangka Belitung. Dalam kesempatan itu, presiden menyebut kerugian negara akibat praktik penambangan ilegal oleh enam perusahaan di PT Timah Tbk mencapai Rp 300 triliun. Presiden juga menyaksikan langsung penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) kepada PT Timah Tbk. Hal ini disebut sebagai bukti kepedulian pemerintah dalam memulihkan kerugian negara. Sebanyak enam smelter dari perusahaan tersebut sudah disita dan perusahaan tersebut kini sudah dihentikan. (tempodotcom, 07/10/2025)
Tak ada asap kalau tak ada api. Kiranya menjadi kalimat pembuka yang tepat untuk merespon pernyataan presiden Prabowo Subianto. Bagaimana tidak, mengingat Presiden pernah meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia untuk menertibkan kegiatan penambangan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan kata lain, ini berarti presiden secara sadar dan diketahui oleh rakyat telah memberikan izin resmi kepada perusahaan-perusahaan untuk melakukan penambangan dengan syarat tidak merusak lingkungan. Ini jelas menjadi pintu kemungkinan terjadinya pelanggaran bahkan kerugian bagi negara dan rakyat.
Hal ini juga sejalan dengan PP 39/2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha kecil dan menengah serta badan usaha milik organisasi kemasyarakatan akan diprioritaskan dalam pengelolaan tambang. Selain itu, Bahlil Lahadalia menyinggung Peraturan Menteri ESDM Nomor 14/2025 tentang Kerjasama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja Untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi yang kemudian dibuat kebijakan inventarisasi 45 sumur oleh Kementerian ESDM agar dikelola oleh koperasi, UMKM dan BUMD. Padahal jika ditelusuri, sekelas koperasi, UMKM atau bahkan Ormas sekalipun belum tentu memiliki kemampuan mengelola tambang secara menyeluruh berikut problem yang dihadapinya, terlebih potensi dan penyebaran sumber daya tambang Indonesia sangatlah besar. Jika hal ini dilakukan, maka hanya akan memperburuk risiko dan menambah kerugian yang lebih banyak lagi.
Pernahkah rakyat berfikir mengapa pemerintah bersikukuh membuat kebijakan yang tak jelas arah bahkan tak masuk akal khususnya dalam konteks pengelolaan tambang ini? Padahal selevel presiden dan para menteri mustahil tidak mengetahui bahwa pengelolaan tambang sangat dibutuhkan keahlian dan kualifikasi tertentu. Jawabannya bahwa ini adalah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme yang diusung oleh Indonesia dan banyak negeri di dunia saat ini.
Dalam sistem kapitalisme, pemilik modal memiliki kewenangan penuh atas praktik swastanisasi dan liberalisasi sumber daya alam. Uang bisa membeli aturan dan perundangan yang berlaku. Sebagai contoh, hadirnya UU Minerba dan UU Cipta Kerja telah memberi ruang, insentif dan jaminan hukum bagi para oligarki pemilik modal besar. Para pemimpin dalam sistem kapitalisme hanyalah sebagai regulator dan fasilitator. Mereka yang diberi amanah jabatan justru memberikan izin usaha pertambangan. Bagi mereka, profit dan investasi adalah hal yang utama dibanding kepentingan rakyat. Mereka berlepas tangan atas tanggung jawab memelihara urusan rakyat, sehingga yang terjadi adalah kerugian yang terus berulang, baik bagi rakyat maupun bagi negara.
Sementara itu, dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang jumlahnya melimpah baik yang ada di permukaan bumi ataupun di dalam tanah, seperti tambang, sungai, hutan dan sejenisnya termasuk ke dalam harta milik umum yang tidak boleh dimiliki secara individu/swasta. Negara wajib mengelolanya sesuai syariat untuk kepentingan rakyat. Hasil dari pengelolaan sumber daya tersebut disimpan dalam baitul mal sebagai kas negara untuk didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang murah bahkan gratis namun berkualitas.
Oleh karena itu rakyat harus kembali disadarkan bahwa biang keladi dari segala keterpurukan dunia saat ini adalah sistem kapitalisme yang masih diterapkan, sehingga harus diganti dengan sistem Islam yang berasal dari Allah SWT, sistem yang memberikan rahmat bagi alam semesta, baik muslim maupun non muslim. Sistem inilah yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau. Mereka memimpin dunia dengan syariat kaffah sehingga rakyat hidup dalam kesejahteraan dan keberkahan.
